Belabaja – Tarian Menenun merupakan satu di antara sekian banyak mata acara yang dipentaskan siswa-siswi SMP Negeri 2 Nagawutung saat event Eksplorasi Budaya Lembata di desa Belabaja pada Rabu (23/2/2021).
Para siswa-siswi tampak antusias memeragakan praktik menenun yang telah dikemas dalam pentas seni tari ini.
Menariknya, Yosefina Ure Pukan (14), salah satu siswi yang membawakan tarian ini diketahui telah belajar menenun sejak duduk di bangku taman kanak-kanak. Di rumah, dia tekun menenun hingga saat ini.
Gadis yang akrab disapa Oce Pukan ini, bisa jadi hanya satu di antara sekian banyak anak-anak yang masih konsisten belajar menenun di tengah gerusan arus modernisasi.
Oce saat itu menjadi pusat perhatian ratusan penonton yang memadati halaman pentas seni Eksplorasi Budaya Lembata. Dua selendang hasil tenunnya pun dipamerkan saat acara ini.
Tangannya begitu piawai memainkan bilah-bilah kayu yang dipakai untuk menenun. “Saya belajar sejak TKK. Ibu yang mengajarkan saya bagaimana cara menenun. Ibu terus konsisten mengajarkan saya tentang cara menenun,” ungkap Oce.
Oce melihat di sekitarnya, hampir semua anak-anak sebayanya tidak lagi meneruskan budaya menenun yang diwariskan secara turun-temurun oleh masyarakat di kampung Boto, yang meliputi desa Labalimut dan Belabaja.
Dia berharap, event Eksplorasi Budaya Lembata ini jadi momentum bagi generasi muda di Boto untuk membangun kesadaran bersama untuk mewariskan budaya menenun. Apalagi sejak dulu, masyarakat adat Boto telah memiliki tradisi menenun dengan motif yang terkenal seperti bunga mawar, kepiting dan simbol ruit.
“Saya berharap teman-teman juga bisa meneruskan hal yang sama. Menurut saya ini sangat penting untuk mewariskan budaya menenun,” ucap Oce.
Bagi Oce, menenun tidak hanya sebatas bagaimana mengasah keterampilan dan menghasilkan karya tenun yang harganya mencapai Rp 5 juta untuk sebuah sarung tenun ikat, dan Rp 300-400 ribu untuk sebuah selendang tenun ikat.
Lebih dari itu, menurut gadis kelahiran 23 Februari 2008 ini, menenun adalah sebuah perbuatan baik. Perbuatan baik karena dia bisa mewariskan budaya peninggalan leluhurnya.
Proses menghasilkan tenun ikat yang cukup rumit memberikan tentangan sendiri buatnya.
Proses menenun ini dimulai dari menanam kapas, penggilingan kapas atau balok kapes dalam bahasa Boto, menghaluskan kapas (buslelu), pemintalan kapas (keduken), penggulingan benang (pudu kapes), pembuatan motif (bit mofak), pembuatan sarung (neket kreot), hingga tahap akhir yakni menenun atau dalam bahasa Boto dikenal dengan istilah tan tnane.
Di hari ulang tahunnya ini, Oce ingin mempersembahkan selendang hasil tenunnya untuk Bupati Lembata, Thomas Ola Langoday. “Sebentar saya mau beri hadiah tenun ini untuk Bapak Bupati,” ungkap gadis yang hobi mendeklamasikan puisi ini.
Salah seorang warga asal Boto, Petrus Perawin mengaku tertegun dengan keterampilan menenun Oce. Petrus menyaksikan bagaimana aktifitas menenun selama bertahun-tahun mulai jarang dilakukan oleh masyarakat di Boto.
“Saya tertegun karena anak-anak bisa menekuni ini. Itu suatu hal yang luar biasa. Kalau di sini menenun itu hampir sudah tidak ada lagi. Kalau masih ada itu pun hanya mama-mama. Banyak anak yang tidak bisa,” ungkapnya.
Dia mengatakan untuk saat ini, budaya menenun bisa diwariskan dengan beberapa cara. Pertama, pembinaan melalui kelompok tenun. Kedua, yang tidak kalah penting adalah pendampingan dan pembinaan dari ibu-ibu yang bisa menenun kepada anak-anaknya.
“Syaratnya yang pertama itu dia perlu sosialisasi melalui desa, panggil mama-mama yang masih bisa menenun untuk bisa sosialisasi lewat kelompok. Kalau pembinaan di rumah bisa juga kalau mamanya penenun atau neneknya, maka tetap otomatis anak-anaknya bisa ikut,” kata Petrus.
Selain ritual Orok Keferok, Event Eksplorasi Budaya Lembata di Belabaja ini diramaikan dengan berbagai pentas seni budaya dari anak-anak muda lereng gunung Labalekan. (Red)