NAGEKEO _ Memasuki musim kemarau, masyarakat di sejumlah wilayah di Kabupaten Nagekeo, NTT, kerap merasakan betapa sulitnya mendapatkan akses air bersih. Bagi masyarakat di Kecamatan Aesesa Selatan, Aesesa bagian barat, sebagian wilayah Kecamatan Nangaroro, kelangkaan air bersih ibarat hadiah ulang tahun menyakitkan.
Di Desa Tengatiba misalnya, warga hanya memiliki sumber air yang berada jauh di luar desa, dan sebagian harus berjalan kaki hingga 2 kilometer dengan medan curam untuk mengambil air. Warga hanya mengandalkan air dari embung yang kualitasnya kurang layak.
“Sejak dulu kami hidup dengan segala keterbatasan. Untuk ambil air, ada yang harus jalan sampai 2 kilometer turun-naik bukit” ujar Kepala Desa Tengatiba Servasius Ame saat menyambut tim jelajah Timur, Kamis 23 Oktober 2025.
Untuk mengatasi air, Pemerintah sempat membangun embung untuk menampung air hujan. Air tersebut bukan hanya untuk dikonsumsi manusia akan tetapi hawan juga. “Setelah ada embung, kami pakai air itu untuk mandi, cuci, dan kalau terpaksa juga untuk minum setelah dimasak dan diendapkan beberapa hari” ungkap Ame lirih.
Kelangkaan air bersih ternyata berdampak buruk bagi ekonomi masyarakat. Sebagian pendapatan masyarakat harus terkuras sebagian untuk pengeluaran membeli air.
“Penghasilan kami pas-pasan, jadi sering kali harus memilih, beli air, bayar sekolah anak, atau beli makan” katanya.
Belum ada penanganan berarti dari Pemerintah membuat warga setempat tidak punya pilihan selain menikmati pasokan air embung yang belum tentu sehat.
“Akhirnya kami nikmati saja air yang ada demi masa depan anak-anak kami. Dengan adanya Jelajah Timur ini, kami berharap beban mereka berkurang, dan kehidupan warga menjadi lebih layak,” ucapnya.
*Jelajah Timur Galang Dana*
Kelangkaan air di Nagekeo menarik perhatian Plan Indonesia dengan menggalang dana mengajak pelari Nasional yang dikenal dengan nama Jelajah Timur untuk menggelar aksi lari Maraton.
Lumayan, dalam aksi tersebut Plan Indonesia berhasil mengumpulkan Rp. 1,8 Miliar yang kemudian didonasikan ke dia desa yakni Tengatiba dan Wajo.
“Krisis air bersih ini berdampak langsung pada anak perempuan, karena mereka sering harus berjalan jauh setiap hari untuk mengambil air, sehingga kehilangan waktu belajar dan berisiko terhadap kesehatan mereka,” ujar Direktur Eksekutif Plan Indonesia, Dini Widiastuti.
Aksi lari Maraton Jelajah Timur ini akan berakhir di tanggal 11 Oktober 2025. Plan memastikan, manakala hasil donasi dari donatur bertambah tidak menutup kemungkinan bantuan diperluas ke desa desa lain di bawa binaan Plan.
*Bikin Festival*
Di tengah penderitaan rakyat, di manakah Empati Pemerintah. Sayangnya, tatkala terik yang membakar tanah dan lidah yang kering karena minimnya air, Pemerintah Daerah setempat justru sibuk mempersiapkan panggung hiburan.
Ketika jerigen-jerigen warga Desa Tengatiba, Kecamatan Aesesa berjejer menanti giliran air bersih, di tempat lain di pusat Kota, uang rakyat ratusan juta rupiah dihamburkan untuk pesta seremonial bernama Festival One Be.
Alih-alih fokus menangani persoalan mendesak ini, mereka memilih bersembunyi di balik dalih promosi pariwisata atau pelestarian budaya sambil menyelenggarakan festival dengan anggaran fantastis.
Festival ini dilaksanakan oleh Dinas Pariwisata yang konon katanya mempromosikan wisata Nagekeo hingga membangkitkan ekonomi. Festival Nagekeo One Be 2025 mengusung tema “Kebangkitan Ekonomi Kreatif” dengan menitikberatkan pada pemberdayaan UMKM dan talenta lokal.
Kepala Dinas Pariwisata Silvester Teda Sada bilang, tema ini menegaskan pentingnya ide, kreativitas, dan inovasi dalam menghasilkan produk dan jasa bernilai tambah tinggi.
Festival One Be kata Teda Sada menargetkan meningkatkan citra positif Nagekeo sebagai destinasi unggulan di NTT, mempromosikan potensi wisata, seni budaya, dan kearifan lokal, memberikan ruang bagi pengembangan UMKM, pelaku ekonomi kreatif, dan talenta lokal.
“Dalam konteks global, Nagekeo One Be menjadi simbol persatuan, kebersamaan, dan gotong royong masyarakat dalam mempersembahkan daya tarik wisata daerah kepada dunia,” ujar Teda Sada.
Di sisi lain, pesta rakyat itu diklaim mampu meningkatkan jumlah kunjungan dan lama tinggal wisatawan di Nagekeo, menciptakan jejaring kolaborasi antara pemerintah, komunitas, dan pelaku usaha pariwisata.
Festival ini memakan biaya Rp. 170 juta yang diambil dari uang rakyat. Dentuman musik sound horeg menekankan telinga, tarian-tarian, senam zumba berbaur jadi satu di lapangan Berdikari. Sungguh pesta rakyat yang memuakan.
*Tak Sejalan Dengan Janji Kampanye*
Pemkab Nagekeo yang menggelar festival di tengah penderitaan rakyat akibat krisis air ini dikritisi berbagai kalangan. Steven salah satu warga Desa Wajo, Kacamatan Keotengah menilai apa yang dilakukan Pemkab Nagekeo tidak sejalan dengan visi dan misi Bupati dan Wakil Bupati.
Saat kampanye, Bupati dan Wakil Bupati berjanji infrastruktur jalan, air listrik adalah program super prioritas. Keduanya dengan percaya diri menyampaikan kepada masyarakat bahwa akan mengutamakan kebutuhan mendasar rakyat.
“Kampanye punu noa penga (omong gampang semua) padahal tipu, kami di Wajo sini air masih susah, untung ada bangunan dari donasi Jelajah Timur” pungkas pria yang kerap bersepeda ini.(***)








