LEMBATA – Yayasan Anton Enga Tifaona (AET) bersama PT Lembata Hira Sejahtera (Batara) mulai mendorong masyarakat di Lembata untuk membudidayakan malapari dan porang.
Berkolaborasi dengan Daemeter dan BRIN, program ini diimplementasikan untik mendukung aksi adaptasi terhadap perubahan iklim (API) juga mendorong pembangunan ekonomi berkelanjutan yang ramah lingkungan.
CEO PT Batara Alexander Bala Tifaona mengatakan sejumlah aksi ini nantinya bermuara pada program Tanam Porang Panen Malapari yang disingkat Mama Papa.
Hal ini dikatakan Alexander saat sosialisasi program MAMA PAPA di Kantor Camat Wulandoni, Minggu, 1 Oktober 2023 yang dihadiri Kepala UPT KPH Lembata, Camat Wulandoni, beberapa Kades sekitar Gunung Labalekan seperti Kades Imulolong, Kades Puor, dan Gapoktan dan Masyarakat.
Ia menjelaskan bahwa program penanaman Bio Energi (Malapari) merupakan bagian dari riset sekaligus misi membangun Ekonomi masyarakat Lembata. “Pengembangan bibit tanaman Bio Energi (Malapari) ini akan ditangani langsung oleh PT Batara,” ujarnya.
Menurut Alexander, Kabupaten Lembata sangat ideal sebagai pusat riset tanaman Malapari karena banyak ditemukan disepanjang pesisir pantai. Saat ini malapari hampir tidak ditemukan di daratan Lembata dan hanya beberapa pohon saja seperti di Wulandoni (150 mdpl), Puor (750 mdpl), dan Rumah Sakit Bukit (350 mdpl).
Dia menuturkan, Malapari dapat tumbuh hingga ketinggian 1200 mdpl. Oleh karena itu, uji coba penanaman di berbagai ketinggian perlu dilakukan untuk mendapatkan bibit unggul.
Karenanya, sebut Alexander, penanaman di lereng Gunung Labalekan dengan ketinggian sekitar 1000 mdpl adalah salah satu kegiatan riset yang akan dilakukan PT Batara dibantu Profesor Budi Leksono, Ahli Genetika dan Pemuliaan Tanaman dari BRIN.
Selain itu, penanaman Malapari ini juga bertujuan untuk keperluan revegetasi lahan, konservasi genetik dan mengembalikan ekosistem serta biodiversitas alam.
“Saya mendengar cerita dari keluarga di Imulolong, bahwa di lereng gunung Labalekan itu dulu banyak ditemui burung nuri, kakatua dan lain sebagainya. Sekarang sudah jarang bahkan tidak pernah lagi ditemukan,” ungkap putra mendiang almarhum Brigjen Pol (Purn) Drs. Anton Enga Tifaona ini.
“Jadi melalui penanaman Malapari di area hutan lindung tersebut menggunakan ijin Perhutanan Sosial (PS) diharapkan habitat alamnya dapat dikembalikan, kesuburan lahannya dapat diperbaiki, sumber air dan keaneka-ragaman hayati di area tersebut dapat dipelihara dan dijaga,” lanjutnya.
Sambil menunggu hasil riset dan produksi Malapari di Lembata, PT Batara bersama Yayasan AET bertekad memasarkan potensi yang dimiliki Kabupaten Lembata saat ini, seperti Porang. Banyak sentra porang di Lembata, bahkan beberapa bibit porang diambil dari tanaman hutan yang tumbuh di lereng gunung Labalekan.
Kepala UPTD KPH Kabupaten Lembata, Linus Lawe mendukung pengembangan tanaman Malapari di kabupaten Lembata.
Dia juga meminta masyarakat agar menggunakan kesempatan membuka lahan di kawasan hutan menggunakan undang-undang Perhutanan Sosial (PS).
Ketika masyarakat sudah memiliki ijin membuka lahan sesuai undang-undang Perhutanan Sosial maka mereka bisa melakukan beragam aktifitas kehutanan, salah satunya menanam Malapari.
Menurut Linus, upaya percepatan program Perhutanan Sosial yang didukung PT Batara dan Yayasan Anton Enga Tifaona, merupakan bentuk solusi penyelesaian konflik ditingkat tapak dan mendorong upaya pemanfaatan kawasan menuju masyarakat sejahtera hutan Lestari.
“Kami berharap, masyarakat bisa berpartisipasi memanfaatkan kesempatan ini,” kata Linus.
Desmiwati dari Pusat Riset Masyarakat dan Budaya, Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) juga menjelaskan, peran aktif PT Batara dan Yayasan Anton Enga Tifaona dalam pendampingan dan inisiasi ini perlu diberikan apresiasi.
Menurutnya, dengan adanya undang-undang Perhutanan Sosial, masyarakat harus bisa merespon dengan cara membuka lahan untuk tanaman Malapari dan komoditas lainnya sekaligus membuka peluang ke akses pasar.
“Peran pendamping PS akan mendorong kesejahteraan masyarakat dan kemandirian masyarakat,” katanya.
Dr. Maria Ratnaningsih dari Daemeter, Konsultan Aspek Sosial, Ekonomi dan Lingkungan juga mengatakan bahwa, momentum Program Mama Papa hendaknya dapat dimanfaatkan masyarakat Lembata untuk bekerja lebih semangat dengan tetap berpatokan pada adat dan budaya, gotong-royong dari turun-temurun mereka dengan tetap menerapkan prinsip-prinsip ramah lingkungan dan pembangunan berkelanjutan demi masa depan generasi. ***