Lewoleba – Sekitar 50 penonton memadati halaman Cafe Omah Bu’e di bilangan Lamahora, Kota Lewoleba, Kabupaten Lembata pada Selasa (30/3) malam. Mereka menyaksikan pemutaran film pendek Keru Baki dan Ama Lake karya dua sineas muda Lembata, Lambertdino Purwanto dan Elmo Alessio
Pemutaran film yang diselenggarakan Komunitas Sinema Lembata memeringati 71 tahun Hari Film Nasional ini berhasil memukau penonton yang hadir. Mereka larut dalam setiap scene film hingga usai dan tetap bersemangat mengikuti diskusi untuk membedah dua film ini.
Film Keru Baki yang mengisahkan ritual perdamaian atau penyucian hubungan antara manusia dengan alam, mendapat apresiasi dari pembedah film pada malam itu, Haris Dores. Haris yang juga pekerja seni Lembata ini memuji estetika visual yang disajikan sang sutradara Lambertdino.
“Dari sisi estetika ini sangat menarik karena saya nyaman untuk melihat film ini dan memanjakan mata saya untuk menikmatinya,” kata Haris.
Tidak hanya itu, Haris mengatakan secara filosofi Keru baki dalam tradisi Lamaholot yang diangkat dalam film ini bermakna ‘penyucian’ atau dalam teologi Katolik dikenal dengan istilah ‘pengkudusan’.
Menurutnya, Keru Baki tidak juga hanya hadir sebagai simbol perdamaian. Tapi Keru Baki menjadi sebuah bentuk sajian reflektif yang mampu membangun kesadaran kolektif penonton, dan mengajak manusia untuk lebih bersahabat dengan alam.
“Alam telah memberikan banyak hal. Alam telah memberikan seluruh isi perutnya untuk manusia tetapi kadang manusia melupakan alam,” ucap Haris.
Sementara itu sang sutradara, Lambertdino Purwanto menjelaskan, Keru Baki merupakan film eksperimental yang lahir dari pergumulan dirinya. Film ini hadir di hadapan penonton tanpa ada aturan-aturan baku. Abstraksi dan surealisme menjadi roh atau kekuatan dari film ini.
Hal ini dibuktikan saat Lambertdino sesekali menampilkan pergerakan visual yang cepat dari satu shot ke shot yang lain. Dia juga berani menampilkan simbol alam berupa daun yang jatuh di air, saat pemeran utama dalam film ini Jhony Kayowuan mengucapkan kalimat sakral dalam tutur Lamaholot.
“Itu adalah bagian dari eksperimental saya. Melihat lebih lama hal-hal yang memang kita lihat setiap hari, tetapi selalu dialihkan (diabaikan) karena kesibukan kita,” kata pria yang akrab disapa Aldino ini.
Pembedah lainnya, Alexander Taum menilai film Ama Lake hadir di saat yang tepat dimana masyarakat Lembata sedang menghadapi tiga persoalan besar yakni sampah, perusakan lingkungan seperti pembabatan hutan mangrove dan kelangkaan BBM.
Film karya sutradara Elmo Alessio ini menurutnya juga berhasil membangun kesadaran kolektif masyarakat Lembata, bahwa saat ini Lembata sedang dalam masalah. Hadirnya Ama Lake menurut Alexander berhasil mengonstruksi pesan kepada masyarakat.
“Ketika menonton film Ama Lake kita dibuat takjub dengan keberanian Elmo Alessio yang dengan gamblang menghadirkan kritik yang selama ini menjadi keluhan kita di Lembata,” kata jurnalis Media Indonesia ini.
Elmo Alessio, di sesi kedua diskusi ini mengatakan, dia berani memilih anak-anak sebagai pemeran dalam film Ama Lake. Menurutnya, anak-anak merupakan pribadi yang bisa menggambarkan kepolosan, keluguan dan kejujuran saat orang dewasa tidak mampu lagi bersuara.
“Anak-anak itu sangat polos, jadi saya pikir pesan-pesan atau kritik sosial itu akan sampai lebih baik ke mata dan telinga penonton khususnya pemerintah. Anak-anak juga merupakan simbol yang mampu menggugah,” kata Elmo.
Nonton Film Ama Lake di Chanel Youtube 13 Frame
Hidupkan Iklim Perfilman di Lembata
Salah satu penonton yang hadir, Rahayu Sanita mengaku terharu saat menonton dua film ini. Sependapat dengan dua pembedah, Rahayu mengatakan film ini mampu membangkitkan kesadaran kolektif masyarakat Lembata, khususnya terkait isu-isu sosial lingkungan.
“Bakau yang harusnya menjadi tempat bermain anak-anak kini banyak yang sudah rusak akibat ulah manusia. Menyaksikan Lembata saat ini dengan awal saya datang segala sesuatu terlihat berbeda dengan daerah lain baik dari segi pembangunan juga bagaimana kita melihat secara langsung alam ini dirusak,” kata Rahayu.
Selain dua film ini, para penonton juga disuguhkan dengan sebuah film yang diambil dari kepingan video-video pendek beberapa orang di Kabupaten Lembata. Dua sutradara ini menggabungkan kepingan video yang dianggap sebagai pengalaman berharga dari pemiliknya menjadi cerita tentang Lembata yang utuh dalam sebuah film.
Film ini hadir dalam tampilan special movie screening dengan judul Mata dan Sekitar Kita. Judul ini menjadi tema utama kegiatan malam itu. Semua pemilik video dalam film ini juga mendapatkan cinderamata berupa kalung spesial insan film.
Komunitas Masyarakat Sinema Lembata sengaja menghadirkan film ini dan memberikan penghargaan kepada pemilik kepingan video dalam film ini, semata-mata bertujuan menghidupkan iklim perfilman di Kabupaten Lembata.
“Ini merupakan upaya kita untuk menghidupkan iklim perfilman di Lembata. Karena sayang kalau Lembata yang memiliki talenta-talenta hebat seperti dua sineas muda ini, lalu ada anak-anak muda, pemeran-pemeran dalam film yang memiliki bakat yang luar biasa tapi luput dari perhatian masyarakat Lembata sendiri,” kata Ricko Wawo, penanggungjawab kegiatan ini.
Menurut Ricko, orang Lembata harus terlebih dahulu menikmati film hasil karya putra-putri Lembata sebelum ditonton oleh orang luar. Iklim perfilman di Lembata juga harus diikuti dengan-diskusi film seperti ini.
“Kita berupaya agar menghadirkan nilai edukasi dalam setiap pemutaran film hasil karya putra daerah Lembata. Saya optimis iklim perfilman Lembata akan hidup kalau kegiatan seperti ini terus dilakukan,” ucap Wartawan Harian Pos Kupang ini.
Di akhir pemutaran film ini, panitia juga memberikan give away berupa dua buah kaos untuk penonton yang berhasil menjawab pertanyaan dari moderator sekaligus pembawa acara, Mey Lagaor. (Red)