SoE – Nasib seorang janda di Desa Oelet, Kecamatan Amanuban Timur, Kabupaten Timor Tengah Selatan (TTS), NTT, sungguh sangat memprihatinkan. Setelah suaminya meninggal balasan tahun lalu, kini Sumina Asbanu menderita kanker payudara.
Sumina hidup bersama anak angkatnya di rumah yang tidak layak untuk dihuni. Sumina yang kini sudah berusia 75 tahun itu, tinggal bersama anak angkatnya, Muhammad Safari Asbanu di rumah mereka yang sangat sederhana.
Rumah berukuran 3×4 meter itu, tidak terlalu luas, namun tidak terlalu sempit bagi Sumina dan anaknya. Rumah setinggi hampir 2 meter itu dibagi menjadi dua kamar. Di bagian belakang digunakan sebagai tempat beristirahat pada malam hari. Sementara bagian depan sebagai ruang tamu sekaligus tempat ternyaman bagi Safari untuk beristirahat.
Dindingnya menggunakan bambu yang dibelah, diatap dengan beberapa seng yang sudah termakan usia. Rumah sederhana tanpa jendela itu, hanya memiliki satu pintu di bagian depan tanpa pintu belakang.
Ruang tamunya tidak dihiasi meja kaca dengan sebuah vas dan bunga yang cantik. Tidak ada satu kursi pun di ruang tamu itu. Hanya sebuah tikar yang terbentang di atas tanah.
Sebuah bangku panjang berada di emperan rumah yang beratapkan daun kelapa. Ada sebuah kursi dan meja yang disandarkan pada dinding rumah.
Secercah senyum dipancarkan dari raut wajah yang sudah berkerut termakan usia. Sumina keluar dari rumah sederhananya saat didatangi Sabtu (11/7/2020) siang.
Bersama Safari, Sumina menyambut kami dengan hangat dan mempersilahkan untuk duduk di bangku yang sudah disediakan. Sumina sendiri duduk bersandar di salah satu tiang rumahnya tepat di pintu masuk.
Dia mulai berkisah tentang nasibnya yang malang. Awal mula Sumina mengetahui dirinya mengidap kanker payudara pada September 2017 silam.
Saat itu, kata Sumina, dirinya masih beraktivitas seperti biasa. Tidak ada rasa sakit apapun. Dia tetap menganyam tempat siri pinang (oko mama) dan nyiru (t’pa) dari daun lontar yang dijual untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka.
“Pendapatan kami tergantung hasil penjualan tempat siri pinang dan nyiru. Kadang kami tidak dapat uang, kadang kami bisa dapat sampai 50 ribu. Kalau dapat uang banyak kami senang,” kata Sumina.
Selain memenuhi kebutuhan hidup lainnya, uang hasil penjualan tersebut juga digunakan untuk biaya sekolah Safari.
Sebagaimana kehidupan masyarakat Timor pada umumnya, Sumina yang tinggal di RT 01, RW 01 Desa Oelet tersebut bertahan hidup dengan mengolah lahan yang ada untuk memeroleh makanan.
“Kami olah orang punya tanah. Hasilnya untuk kami makan. Tanah yang kami tempati ini juga bukan milik kami. Ini milik kakak saya,” ujar Sumina dalam bahasa daerah setempat.
Kini Sumina tidak dapat beraktivitas secara normal lagi pasca kanker di payudaranya pecah dan menyisahkan luka yang sedalam kira-kira 20 cm.
Sumina mengisahkan, saat benjolan yang ada di payudaranya pecah pada bulan April 2020 lalu dia tidak bisa beraktivitas lagi karena rasa sakit yang tidak mampu ditahannya.
“Waktu pecah itu sangat bau, bahkan semua orang takut dekat saya karena bau amis,” kata Sumina mengenang kejadian itu.
Meski demikian, anaknya Safari tidak pernah merasa jijik dengan keadaannya, malah sebaliknya sang anak dengan setia merawat Ibunya.
Sejak pertama dirinya menyadari dirinya mengidap kanker payudara, Sumina tidak memberitahu keluarganya karena tidak merasa sakit apa-apa.
Namun kini semua berubah. Sumina yang dulunya pekerja keras, Sumina yang tekun, kini hanya bisa duduk dan tak mampu berbuat banyak hal.
Kali ini, Safari yang harus bekerja keras, merawat ibunya, menyiapkan makan dan minuman, merawat ternak hingga mengolah lahan.
Bagi Safari, semua itu sebagai balasan atas kasih sayang ibunya yang sudah merawatnya sejak dirinya kecil hingga kini ia tumbuh menjadi anak yang kuat, rajin dan patuh.
“Saya tidak jijik. Saya sayang mama,” kata Safari sambil memerhatikan sang ibu.
Bahkan saat sang ibu sudah tidak bisa beraktivitas normal lagi, Safari takut akan kehilangan. Setiap hari dirinya merawat ibunya dengan berlinang air mata.
“Saya takut mama kasi tinggal saya. Saya tidak tau nanti mau buat bagaimana kalau ibu tidak ada lagi,” ujar Safari berkaca-kaca.
Saat ini, Sumina hanya menggunakan obat tradisonal. Dirinya tidak mampu berobat ke rumah sakit karena tidak memiliki biaya.
“Selama ini kami dapat uang dari hasil jual tempat siri pinang dan nyiru, tapi sekarang saya sakit dan tidak bisa kerja lagi. Jadi kami tidak punya uang untuk pergi ke rumah sakit,” kata Sumina.
Ia mengatakan, keluarganya baru sekali mendapatkan bantuan dari pemerintah. Itu pun karena pandemi Covid-19 sehingga keluarganya mendapatkan BST.
“Selama ini tidak dapat bantuan apa-apa. Hanya baru-baru ini kami terima BST. Ada yang datang foto rumah kami katanya mau kasi bantuan rumah, tapi sampai sekarang tidak ada,” jelasnya.
Sejak April 2020, Sumina hanya berobat menggunakan obat tradisonal. Sumina mengungkapkan keinginan untuk berobat di rumah sakit namun ia harus memikirkan biaya rumah sakit yang mahal, Ia pun menyimpan rapat-rapat keinginannya.
“Kami pake obat tradisonal saja. Ada keluarga di sini yang kasi obat dan tiap hari anak saya tumbuk obat itu dan tempelkan di bagian yang luka,” ujar Sumina dibenarkan anaknya.