Watoone – Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) Witihama yang berlokasi di Desa Watoone, Kecamatan Witihama, Kabupaten Flores Timur, Provinsi Nusa Tenggara Timur, sampai saat ini belum mengantongi Sertifikat Hak Milik tanah.
Selama enam tahun, yaitu sejak mendapat izin operasional pada tahun 2014, sekolah kejuruan ini menghadapi klaim dari warga atas sebidang tanah yang tercakup dalam Gambar Situasi (GS) sekolah. Klaim ini menyulitkan pihak sekolah dalam upaya mendapatkan sertifikat Hak Milik tanah.
Berdasarkan Surat Pernyataan Melepaskan Hak Atas Tanah yang dilakukan oleh Herman Orong (Pihak Kesatu) kepada Yoseph Lagadoni Herin selaku Bupati Flores Timur (Pihak Kedua) pada tahun 2012, tercatat sejumlah poin penting.
Pertama, Herman Orong melepaskan segala hak dan kepentingan atas tanah seluas 21.746 m2 untuk dikuasai pemerintah Kabupaten Flores Timur demi pembangunan SMKN Witihama, dengan batas-batas sebagai berikut: Utara (tanah milik Bernadus Boro Raga dan Herman Orong), selatan (Yohanes Kopong Lawe dan Yos Arakian), timur (Hena Bara), dan barat (Petrus Doni Uhen).
Kedua, untuk pelepasan hak tanah tersebut, ditetapkan uang sirih pinang sebesar Rp. 230.000.000,00.
Ketiga, Pihak Kesatu menjamin kepada Pihak Kedua bahwa hanya pihaknya yang berhak dan berwenang untuk melepaskan hak mengenai tanah tersebut. Keempat, Pihak Kesatu menjamin kepada Pihak Kedua, baik sekarang maupun di kemudian hari bahwa tidak akan melakukan tuntutan atau gugatan tersangkut kepemilikan tanah tersebut kepada Pihak Kedua.
Dari tanah seluas 21.746 m2 tersebut, ada gugatan warga karena tanahnya tercakup dalam GS, dan atas gugatan itu, tanah tersebut telah dikeluarkan dari GS sekolah. Menurut penjelasan Plt SMKN Witihama, Bart Penana Payong, luas lahan sekolah saat ini telah berkurang menjadi sekitar 1,6 Ha.
Pada waktu bersamaan, ada juga pengaduan dari warga lain atas nama Valentinus Sereot Hala, karena tanah yang telah dibelinya seluas 360 m2 termasuk dalam GS sekolah. Berdasarkan dokumen yang dimilikinya, tanah tersebut telah dibeli dari Martinus Tupen Duli pada tahun 2008.
Valentinus mengatakan, pada awal rencana pembangunan gedung, pihak sekolah datang dan meminta izin kepadanya, karena sejumlah sarana akan melintasi tanah miliknya menuju lokasi sekolah.
“Waktu itu saya izinkan. Dengan meminta izin seperti ini, sebenarnya mereka juga mengakui kalau itu adalah tanah saya. Tapi kemudian dalam pengukuran lahan sekolah, saya maupun pemilik tanah asal tidak dilibatkan. Sementara, pihak lain yang berbatasan dengan tanah sekolah dilibatkan. Tanah saya ini diklaim sebagai tanah sekolah,” katanya kepada wartawan, Senin (7/9/2020).
Dia sangat prihatin, karena persoalan yang menurutnya sederhana ini dibuat ribet.
“Saya beli tanah di pihak lain. Sekolah beli tanah di pihak lain. Tidak ada hubungan antara pemilik lahan asal. Sehingga saya bingung, bahwa tanah yang saya beli masuk dalam GS sekolah,” ujarnya.
Dengan kondisi seperti ini, Valentinus telah berupaya melakukan pengaduan ke sejumlah pihak. Terakhir, dia membuat surat pemberitahuan kepada Kantor Badan Pertanahan Nasional Kabupaten Flores Timur.
“Isi surat itu ialah saya meminta kepada BPN Flores Timur tidak melakukan proses penerbitan sertifikat tanah jika ada permohonan dari pihak sekolah. Selama ini, mereka telah beberapa kali melakukan pengukuran tanah agar bisa menerbitkan sertifikat tanah. Tapi hasilnya selalu berbeda antara GS dengan fakta di lapangan,” jelasnya.
Dia berharap peran aktif dari pemerintah desa maupun kecamatan agar bisa memfasilitasi proses penyelesaian kasus ini secara kekeluargaan.
Sementara itu, Plt. SMKN Witihama, Bart Penana Payong, menjelaskan dirinya memiliki kewajiban mengamankan setiap aset pemerintah.
“Saya punya tanggung jawab untuk mengamankan setiap aset pemerintah. Kami berpatokan pada GS awal. Tapi saya juga tetap menghargai upaya dari Pak Valentinus, karena dia juga memiliki dokumen kepemilikan. Kami juga memiliki dokumen. Sehingga, Pak Valentinus bisa menempuh jalur hukum. Tapi kalau menempuh jalur hukum, kita tentu harus menghormati setiap keputusan pengadilan,” katanya di ruang kerjanya, Senin (7/9/2020).
Walau sempat menganjurkan penyelesaian melalui meja hijau, dirinya sangat berharap agar persoalan ini bisa diselesaikan secara kekeluargaan. Karena walau berbeda posisi, Bart sangat memahami nilai budaya Lamaholot dalam penyelesaian suatu kasus.
Bart Penana Payong mengakui, saat ini secara ideal luas lahan SMKN Witihama sudah tidak memenuhi syarat pendirian sebuah sekolah.
“Kalau secara nasional, syarat untuk pembangunan SMA atau SMK minimal 2 Ha. Pada awalnya, kami memiliki dokumen 2 Ha lebih. Namun saat ini, lokasi ini secara ideal tidak memenuhi syarat lagi. Kalau dipotong di bagian atas, luasnya menjadi sekitar 1,6 Ha. Apalagi di bagian bawah 360 m2 itu juga diambil, saya tidak tahu pengembangan ke depan,” tuturnya.
Dia kembali menegaskan, persoalan lahan yang dimaksud bukanlah keseluruhan lokasi SMKN Witihama.
“Yang dipersoalkan itu hanya di bagian bawah sekitar 360 m2. Jadi bukan keseluruhan lahan SMKN Witihama. Jadi untuk 1,6 Ha ini, saya pikir aman dan cukup. Kita bisa bangun tingkat,” paparnya.
Camat Witihama, Laurensius Lebu Raya, menjelaskan lokasi SMKN Witihama sesungguhnya telah diukur saat kepemimpinan camat sebelumnya. Mereka telah mengukur sesuai batas-batas kepemilikan lahan.
“Dalam perjalanan, Pak Valentinus klaim bahwa sebagian tanah itu dia sudah beli. Panitia pemerintah desa juga sudah menyampaikan bahwa saat pengukuran, mengapa tidak dilakukan klaim? Jadi persoalannya adalah lokasi sisa itu,” kata Laurensius di ruang kerjanya, Kamis (10/9/2020).
Dia menegaskan pihak SMKN Witihama akan berhubungan dengan pemilik lahan, bukan dengan pembeli lahan.
“Jadi, untuk selamatkan sekolah, diukur dulu, untuk selamatkan pembangunan sekolah ke depan. Kita juga menghargai haknya Valentinus Sereot Hala untuk menggugat ke pengadilan. Jika gugatannya menang, bisa dikeluarkan dari tanah sekolah. Selama ini, saya selalu membangun komunikasi dengan pihak desa. Sebagai pemerintah, saya merujuk pada GS awal. Kalau sudah ukur, tidak bisa kita lakukan pembatalan. Pembatalan hanya bisa dilakukan hanya melalui sidang pengadilan,” jelasnya.
Laurensius mengatakan dirinya tetap mendukung Kantor Badan Pertanahan untuk menerbitkan sertifikat tanah, sehingga bisa memperlancar proses pembangunan SMKN Witihama.
“Kami tetap mendukung Badan Pertanahan menerbitkan sertifikat tanah sesuai dengan skema. Karena ini kan untuk kepentingan kita semua,” tegasnya. (Tim)