KUPANG – Dalam rangka memperingati Hari Ibu di Indonesia yang dirayakan setiap tanggal 22 Desember, Komunitas Jurnalis Perempuan Flores (KJPF) mengadakan diskusi daring tentang sejarah Hari Ibu dan perjuangan perempuan masa kini, Minggu (22/12/2024) malam.
Koordinator Bidang Pelatihan dan Publikasi KJPF, Intan Nuka, mengatakan, Hari Ibu di Indonesia perlu dilihat sebagai suatu gerakan perjuangan perempuan yang tidak sebatas pada urusan domestik belaka.
“Tidak apa-apa mengapresiasi para perempuan yang telah melahirkan kita, namun jangan pernah melupakan sejarah Hari Ibu itu sendiri, karena tenggelam dalam euforia Hari Ibu ini akan memudarkan makna perjuangan para perempuan hebat kita puluhan tahun lalu,” kata Intan dalam rilis yang diterima BentaraNet.
Intan menyampaikan sejarah Hari Ibu perlu dipahami dengan baik oleh masyarakat, terutama anak-anak muda agar tidak terjebak dalam “ibuisme”, sebuah istilah yang menekankan peran perempuan dalam urusan domestik saja.
Atas dasar hal itu, KJPF mengundang Komunitas Solidaritas Perempuan (SP) Flobamoratas untuk berbagi tentang sejarah Hari Ibu dan bagaimana gerakan organisasi perempuan masa kini.
Diskusi daring KJPF bersama SP Flobamoratas dimoderatori oleh Koordinator Bidang Gender dan Advokasi KJPF, Anjany Podangsa.
Dalam diskusi, Linda Tagie selaku Ketua Badan Eksekutif Komunitas SP Flobamoratas menjelaskan bahwa peringatan Hari Ibu didasarkan pada penyelenggaraan Kongres Perempuan Indonesia pertama pada tahun 1928 di Yogyakarta yang kemudian dideklarasikan pada Kongres Perempuan III di Bandung.
Pada kongres tersebut, ada lima hal substansial yang dibahas yakni pendidikan perempuan, nasib yatim piatu dan janda, perkawinan anak, reform undang-undang perkawinan Islam, serta ceramah nasionalisme dan anti permaduan.
Linda mengatakan sejak saat itu banyak bermunculan organisasi progresif perempuan yang mengedepankan perjuangan terhadap kaum perempuan. Namun gerakan perempuan dihancurkan pada tahun 1965.
“Perempuan dikunci dalam definisi reproduktif dan esensialis, jadi pokoknya perempuan tugasnya hanya sebagai istri, melahirkan anak sebanyak-banyaknya, mengurus anak, mengurus suami, dan mengurus rumah tangga,” kata Linda.
Setelah jatuhnya rezim Orde Baru, salah satu gerakan perempuan yang muncul adalah Solidaritas Perempuan. Di NTT, komunitas itu terbentuk tahun 2023 dengan nama Solidaritas Perempuan Flobamoratas.
Organisasi ini bergerak pada tiga isu penting yakni perempuan untuk keadilan agraria, perlindungan perempuan buruh migran dan keluarganya, serta keadilan iklim feminis.
Adapun dalam diskusi tersebut, jurnalis TVRI di Lembata, Andri Atagoran bertanya tentang sistem yang mengungkung gerakan perempuan di Indonesia. Linda Tagie pun menjawab bahwa sistem paling besar yang mencengkeram gerakan perempuan adalah globalisasi dan patriarki.
Adanya sistem itu pun menempatkan perempuan sebagai orang kedua dalam berbagai ruang pengambilan keputusan.
“Kemiskinan masih tinggi, korupsi masih tinggi, investasi terjadi di mana-mana, perampasan ruang hidup yang sangat masif, akhirnya perempuan memiliki ruang terbatas baik untuk mengakses pengetahuan, termasuk pengambilan keputusan, suara perempuan tidak didengar,” kata Linda menjelaskan.
Diskusi daring selama dua jam itu memberikan banyak tambahan pengetahuan bagi para peserta. Di akhir sesi, Linda pun mengajak semua pihak agar tidak melupakan sejarah terbentuknya Hari Ibu.
Menurutnya, dalam sejarah bangsa Indonesia, para perempuan punya peranan penting untuk melawan kolonialisme, kapitalisme, globalisasi, feodalisme, fundamentalisme, dan militerisme, yang mana semua itu memperkokoh patriarki dan mengonstruksi perempuan menjadi obyek yang pasif.
“Jika dalam sejarah yang kamu baca tidak ada perjuangan perempuan, maka sejarah itu perlu dipertanyakan karena pemutarbalikkan fakta sejarah dimulai dari penghilangan sejarah perempuan,” katanya menegaskan. (BN/001)