LEMBATA – Bencana gagal panen terus terjadi tiap tahun di Kabupaten Lembata. Selain perubahan cuaca ekstrim, serangan hama penyakit juga menjadi penyebab utama gagal panen.
Ignasius Suyadi Aur salah satu petani mengatakan, di wilayah Tanjung, Kecamatan Ile Ape , tidak sedikit petani yang menanam jagung hibrida. Namun banyak dari mereka juga yang mengalami gagal panen ketika hujan tiba-tiba berhenti dalam waktu yang cukup lama saat jagung dalam masa pertumbuhan.
Kondisi ini kata Ignasius, mendorongnya beralih budidaya sayur-sayuran organik. “Menanam sayuran organik merupakan pilihan tepat di tengah musim. Lima jenis sayuran yang ditanam saat ini seperti tomat, kacang panjang, terung, cabai dan pare, ” katanya saat ditemui di kebun miliknya, Senin, 24 Maret 2025.
Ignasius menyebut, tanah di kebun miliknya memiliki kualitas yang bagus untuk ditanami sayur-sayuran. “Kalau untuk tanah kualitasnya bagus , ” kata Ignasius yang telah menekuni budidaya sayur organik sejak tiga tahun lalu.
Budidaya sayur-sayur organik juga membuat mereka lebih baik dalam memberikan perlakuan terhadap tanah, jika dibandingkan dengan jagung hibrida yang harus mendapatkan perlakuan lebih dengan menggunakan pupuk kimia.
“Di sini kami tidak menggunakan pupuk kimia. Kami menggunakan pupuk kandang dari ternak yang seperti kambing dan limbah organik di sekitar sini,” kata Ignasius.
Ignasius mengaku khawatir dengan kualitas tanah miliknya akan menurun, jika ia terus menerus menanam jagung hibrida dengan perlakuan pupuk kimia yang berlebihan.
Tidak jauh dari kebun milik Ignasius, petani lainnya, Edi Suyono juga melakukan hal yang sama. Barisan pagar untuk tanaman pare sengaja ia tempatkan di sisi luar untuk melindungi tanaman lainnya seperti cabai dan tomat dari panas yang berlebihan.
Sementara di pinggir kebun di sisi yang lain, ia membuat jebakan agar air tidak mengalir ke mana-mana saat hujan turun dengan deras.
Cuaca di wilayah ini memang selalu ekstrim. Pada saat-saat tertentu, hujan turun dengan sangat lebat, namun di lain waktu suhu panas yang tinggi bisa berlangsung dalam waktu yang lama.
Meski membutuhkan syarat yang sama yakni ketekunan, Edi menjelaskan bahwa dalam kondisi seperti ini, lebih mudah ia merawat sayur dibandingkan jagung hibrida.
“Kalau jagung (hibrida), itu panas yang panjang itu langsung kita pastikan akan gagal. Sementara ini bisa kita selamatkan dengan air yang ada apalagi kami sering menggunakan pupuk kandang,” ucapnya.
Hasil yang mereka dapatkan dari budidaya sayur-sayuran ini pun jauh lebih tinggi dibandingkan menanam jagung hibrida. Dalam sehari saat musim panen, omset penjualan Ignasius bisa mencapai Rp 300 ribu.
Hasil sayur milik mereka lebih diminati di pasar karena melalui metode pengolahan secara organik . Apalagi di Lewoleba, Ibukota Kabupaten Lembata, sayur-sayuran dengan residu pestisida yang tinggi masih menjadi pekerjaan rumah besar yang harus dituntaskan oleh pemerintah dan masyarakat setempat.
“Para pedagang biasanya langsung ambil di sini. Kalau sayur organik dengan non organik itu kualitasnya berbeda. Tomat misalnya, kami punya itu bisa bertahan sampai satu minggu, tapi kalau papalele (pedagang) mereka dapat dari petnai yang pakai pupuk kimia, itu hanya bisa bertahan tiga hari,” ungkap Ignasius.
Di sisi lain, Ignasius dan Edi mengakui bahwa budidaya sayur-sayuran ini hanya bisa mereka lakukan saat musim hujan. Sementara di musim kemarau, ketersediaan air tidak cukup bagi mereka untuk budidaya tanaman sayur-sayuran.
Jika ada sumur bor, mereka akan melakukan pekerjaan ini sepanjang tahun di musim hujan dan musim kemarau. Sejauh ini intervensi dukungan dari pemerintah belum terlihat sebagai inisiatif yang mereka ambil.
Penulis : Andri AG