Boru Kedang – Ada yang unik dari Flores Timur yang nota bene dihuni oleh etnis Lamaholot. Namun begitu, ada etnis lain yang terletak di Kecamatan Wulanggitang yang dikenal dengan Etnis Boru Kedang atau Boruk Tana Bojang.
Etnis tersebut merupakan salah satu etnis di Flores Timur, NTT. Yang unik dari etnis ini ialah melakukan ritual melepas pergi arwah yang telah meninggal dan mensyukuri hasil panen. Ritual tersebut dalam bahasa setempat disebut Beda Ramut.
Ritual Beda Ramut merupakan ritual yang memiliki makna sebagai ungkapan rasa syukur atas nikmat hasil panen kepada Sang Pencipta yang disebut sebagai Ina Nian Tanah atau Lera Wulan Tana Ekan, dan penghormatan kepada leluhur yang disebut sebagai Blupur Hutu Gete Lima.
Selain itu, pada ritual tersebut dilakukan penghantaran arwah keluarga yang meninggal ke alam nirwana. Menurut keyakinan etnis Boru bahwa, setelah seseorang dalam suku meninggal dunia, arwahnya masih berada dan tinggal bersama keluarga.
Kali ini ritual penuh khidmat dan kebersamaan itu digelar oleh Suku Mau di Lokasi Kebun Suku Mau di Desa Boru Kedang, Kecamatan Wulanggitang, Kabupaten Flores Timur, Jumat (21/8/2020).
Ritual ini melibatkan semua pemangku adat Etnis Boru serta para tamu undangan. Turut hadir dalam upacara tersebut, Kepala Desa Boru Kedang, Polin Liwu, Camat Wulanggitang, Ignasius Ero Ama, Anggota DPRD Flores Timur dari Fraksi PDIP, Kusno Wada dan para biarawan.
Para tetua saling sahut menyahut melantunkan doa dengan syair-syair adat. Suasananya terasa sangat khidmat dan sakral. Setelah melantunkan doa, satu per satu hewan kurban pun disembelih.
Generasi Muda Pemerhati Budaya Etnis Boru, Pangkrasius Gala Liwu pada kesempatan tersebut menerangkan ritual tersebut didahului dengan proses menggoreng padi, menumbuk untuk dijadikan emping.
Pada proses ini juga dilaksanakan ritus mengundang dan meminta restu leluhur untuk hadir bersama pada kegiatan tersebut. Pada proses ini ritual perdamaian pun dilakukan dengan menyantap sirih pinang yang disebut Ea Wua Ta’a, ritual perdamaian dan pemersatu Etnis Boru.
Ditambahkannya, daging disertai dengan emping dibagikan kepada segenap sanak saudara serta tamu dan warga suku yang hadir dalam ritual tersebut. Emping dan daging tersebut disimpan dalam sebuah wadah dari daun yang disebut sebagai Mumet atau Teet.
Pangkrasius mengajak generasi muda agar tetap melastirakan ritual tersebut, sebagai wujud syukur terhadap Sang Pencipta, luluhur dan sebagai wujud nasionalisme kepada bangsa dan tanah air Indonesia.
“Saya mengajak kepada generasi muda, bahwa kita berbudaya, kita mempunyai religius, kita mempunyai harga diri. harus berpegang teguh terhadap budaya kita. Tradisi ini tidak boleh punah. Mari kita ikuti proses ini, kita pelajari, kita hayati. Budaya ini hidup dan tumbuh di bumi kita sendiri,” ajak Pangkrasius.
Pada kesempatan yang sama Camat Wulanggitang, Ignasius Ero Ama mengapresiasi ritual tersebut yang masih dijaga baik hingga kini.
“Pemerintah tentunya sangat mengapresiasi terhadap pelaksanaan ritus tersebut. Walaupun kita dengan perkembangan global tetapi ritus ini masih tetap dipertahankan. Untuk generasi muda, mari kita lestarikan budaya ini sehingga tidak tergerus oleh arus global,” kata Ignasius.