Lewoleba – Pemerintah Kabupaten Lembata mengalokasikan anggaran sebesar Rp 100 juta utuk pengamanan kolam dan jeti apung di Pantai Wulenluo dan pengembangan lokasi wisata ini. Anggaran sebesar Rp 100 juta ini diambil dari Dana Insentif Daerah (DID) yang dikucurkan pemerintah pusat melalui Kementerian Dalam Negeri Republik Indonesia sebesar RP 3 miliar.
Keputusan Pemda Lembata ini menuai sejumlah protes dari anggota DPRD Lembata dan aktifis di Kabupaten Lembata. Pasalnya, Pemerintah Lembata dinilai tidak menghormati dan mengabaikan proses hukum mega proyek kolam dan jeti apung Pulau Siput Awololong sebesar Rp 6,89 miliar yang saat ini sedang ditangani Polda NTT.
Untuk diketahui, kolam dan jeti apung yang ditambatkan di Pantai Wulenluo ini merupakan bagian dari mega proyek pembangunan kolam dan jeti apung di Pulau Siput Awololong yang mangkrak hingga saat ini. “Ini sama saja kita menganulir proses hukum yang sedang berjalan dan berkesimpulan bahwa Awololong tidak bermasalah,” kata Agus Nuban, Ketua LSM Rumah Cinta kepada BentaraNet, Minggu (27/9/2020).
Agus mengatakan, Pemerintah Lembata harusnya menunggu hingga proses hukum kasus dugaan korupsi proyek kolam dan jeti apung Pulau Siput Awololong berkekuatan hukum tetap, sebelum melanjutkan program pembangunan yang masih ada hubungannya dengan proyek ini.
“Di sini pemerintah tidak menghargai dan menghormati aparat penegak hukum. Harusnya pemerintah memberikan pelajaran kepada masyarakat bagaimana taat akan hukum,” imbuhnya.
Hal senada juga disampaikan anggota DPRD Lembata, Antonius Molan Leumara. Anton menyayangkan Pemerintah Lembata lebih mengutamakan pembangunan untuk hal-hal yang tidak penting dan bersifat tidak urgen.
“Saya rasa kita tidak perlu sentuh lah urusan barang-barang begitu yang sedang bermasalah. Entah hasil audit BPK itu ada kerugian atau tidak itu soal nanti karena prosesnya kan belum selesai,” kata Anton kepada BentaraNet.
“Jadi selama proses (hukum) masih berjalan itu kita bisa hindari hal-hal begini. Saya pikir masih ada hal penting lainnya ada banyak hal yang perlu diurus,” kata Anton.
Anggaran DID yang dikucurkan pemerintah pusat ini digunakan untuk kepentingan pemulihan ekonomi masyarakat (PEM), oleh karena itu, Anton menghendaki agar digunakan untuk kepentingan lain yang lebih urgen yang memiliki kaitan dengan melemahnya ekonomi masyarat dampak dari pagebluk Covid-19.
“Urus hal-hal yang sebenarnya berhubungan dengan kondisi faktual saat ini. Ditunggu saja kenapa harus buru-buru. Yang berdampak langsung dengan urusan Covid-19 itu yang harus diurus. Coba lihat Puskesmas Atanila sana mau rubuh saja tidak diurus,” kata Ketua Komisi III DPRD Lembata ini.
Anton juga menyesalkan kemitraan yang terbangun selama ini termasuk urusan-urusan kepentingan rakyat yang lebih penting. Meski demikian, Anton mengakui DPRD tidak berdaya ketika Pemerintah Lembata berdalil bahwa alokasi DID sesuai Peraturan Menteri Keuangan (PMK) hanya menjadi kewenangan pemerintah daerah tanpa persetujuan DPRD. “Apalagi DID kan prosesnya tidak dibahas didalam (Rapat Paripurna DPRD Lembata),” imbuhnya.