Larantuka – Sebuah media online pada 2 Juli 2020 memberitakan tentang bantuan pemberdayaan ternak babi oleh Pemkab Flores Timur pada 2014 yang disebutkan, hingga hari ini belum tiba di tangan kelompok penerima. Pemberitaan itu merujuk pada sebuah materi audio visual yang memuat obrolan antara perekam dan dua orang, dimana salah satunya mengaku sebagai anggota kelompok tersebut, yang kemudian ditindaklanjuti dengan mewawancarai salah satu orang yang ada di dalam materi audio visual itu.
Menanggapi pemberitaan maupun materi audio visual yang saat ini sudah beredar luas di media sosial itu, Thedorus Wungubelen, anggota DPRD Kabupaten Flores Timur 2009-2014 pun angkat bicara. Ia merasa perlu memberikan penjelasan terkait pemberitaan dan rekaman percakapan yang beredar itu.
“Bahwa walaupun tidak menyebut nama, baik oleh media maupun pengakuan oknum tertentu lewat materi audio visual yang beredar, dari deskripsi lokasi rumah, maupun jabatan, maka saya berkesimpulan bahwa anggota DPRD yang dimaksud mengarah ke saya,” ungkapnya kepada media ini melalui sambungan telepon, malam tadi (2/7/2020).
Menurut pria yang akrab disapa Rut Wungubelen ini, pada tahun 2014 Dinas Pertanian Flores Timur memrogramkan bantuan pemberdayaan untuk kelompok ternak babi. Syarat-syaratnya antara lain, jumlah kelompk 10 orang dan adanya lahan untuk usaha kelompok.
“Bantuan itu diberikan sekaligus di Desember 2014, namun menggunakan sistim bergulir selama 3 tahun. Artinya setiap tahun dari produksi, setiap anggota kelompok mendapatkan anak babi antara 1- 2 ekor perbulan.,” ungkapnya.
Mendengar informasi ini, putera Rut Wungubelen yang baru saja meninggal beberapa waktu lalu, menyatakan kesanggupannya untuk membentuk kelompok ternak guna mendapatkan bantuan itu. Ia kemudian membuat proposal dan merekrut 10 anggota kelompok sebagimana disyaratkan. Dari syarat 10 orang, yang berhasil direkrut hanya 8 orang sehigga 2 orang lagi diisi oleh EB serta DF sebagaimana inisial yang diberitakan.
“Oleh karena tidak ada yang mau menjadi ketua kelompok karena mempertimbangkan kesibukan keseharian mereka, maka almarhum anak menjadi ketua kelompok.”
Penandatanganan kontrak di kediaman Rut sebagaimana dikabarkan pun tidak sekonyong-konyong, terjadi begitu saja. Menurut Rut, pertama karena berkas diantarkan ke rumah mereka. Berikutnya, almahrum puteranya juga masih tinggal bersama di rumah mereka.
Nah, setelah lama tidak terdengar kabar beritanya, bantuan tersebut akhirnya baru tiba di tangan kelompok pada akhir 2014, pada saat yang sama tepatnya akhir 2014 Rut tidak lagi menjabat. Ada 20 ekor anak babi yang diterima oleh kelompok ini.
Tangungjawab sebagai pihak yang sudah mengajukan bantuan, almarhum pun meminta kepadanya untuk menggunakan lahan milik mereka di kelurahan Weri, tepatnya di belakang SMK Surya Dewa.
Lahan tersebut dipagar tembok setinggi 2,5 meter dan seluruh modal operasional awal, dari pembersihan lahan, bangunan kandang, 60-an kandang dari bahan baku besi termasuk septictank, pondok peristirahatan serta biaya operasional lainnya. Juga biaya pakan per karung 420.000 setelah pakan bantuan dari Dinas Pertanian habis di bulan keempat.
“Dari awal operasi sampai ke tahun ketiga tidak ada satu rupiah pun dari anggota kelompok. Itu saya dan almahrum anak saya patungan.”
Kisah Rut, sejak kehadiran ternak tersebut oknum EB tidak pernah muncul di kandang kelompok. Jarangnya EB datang ke lokasi kandang membuatnya tidak mengenal dengan baik anggota kelompok. “Nah, sudah tidak peduli soal biaya operasional, tidak pernah sumbang tenaga lalu sekarang oknum EB menuntut?,” tanya Rut lagi.
Menurut Rut, bukan cuma kedua nama yang disebutkan dalam inisial itu yang jarang ke lokasi peternakan. Anggota kelompok yang lain juga hanya datang untuk pantau. Karena melihat operasional besar maka mereka menyerahkan semua urusan itu kepada almarhum anaknya.
“Tentu sebagai orang tua saya tidak mungkin lepas tangan, bahkan seingat saya di pertengahan 2016 sempat ada wabah yang melanda ternak babi di Larantuka, sehingga mengakibatkan 7 ekor babi kelompok Pioner yang berumur sekitar 5 bulan mati,” ungkap Rut.
Kejadian ini, menurut Rut, membuat almarhum anaknya putus asa karena kehabisan modal. Ia kemudian mengajukan pinjaman ke BRI unit Larantuka sebesar Rp200 juta dan Rp75 juta ia serahkan kepada almarhum anak untuk membantu membiayai operasional ternak babi itu.
“Setahun kemudian, oleh karena almarhum anak saya mendapat panggilan kerja di Kupang maka saya dan 3 anggota kelompok yang masih bertahan, berusaha untuk menyelamatkan usaha tersebut namun akhirnya gagal, dan almarhum anak saya meminta untuk menjual seluruh sisa babi di kandang tersebut yang berjumlah 9 ekor.”
Jika EB tidak pernah terlihat lagi sejak aktivitas peternakan itu dimulai, DF justru cukup aktif mengurus ternak-ternak itu dari makan, membersihkan kandang dan lahan. Terhadap DF dari awal sudah ada kesepakatan di antara mereka, bahwa selama usaha tersebut berjalan, sekolah anaknya dibiayai oleh keluarga Ruth dan selama 2 tahun hal itu berlangsung.
Rut menyayangkan pemberitaan media yang tidak berimbang dan cenderung menebarkan kabar yang tidak diverifikasi kebenarannya. “Bahwa belanja ternak tersebut dilaksanakan langsung oleh dinas, lalu unsur korupsinya di mana? Siapa yang korupsi? Kalau ada unsur korupsi dari anggaran tersebut itu urusan dinas,” ungkap Theo.
Ia menegaskan, oknum yang menjadi narasumber di dalam pemberitaan tersebut, melalui permintaan orang tuanya, pernah dia bantu menjadikannya tenaga kontrak di salah satu OPD. Tetapi beberapa tahun kemudian diberhentikan, diduga karena perilaku malas masuk kerja.
“Yang menjadi lucu adalah isu ini dimainkan di media, mulai dari audio visual yang tampaknya sudah dipersiapkan dengan baik, lalu dinaikkan di media online, tepat pada saat saya bersama KRBF sedang getol mengkritisi berbagai kebijakan pemerintah. Kendati demikian saya terima ini sebagai resiko dan hal yang lumrah dalam perjuangan,” ungkap Rut Wungubelen. (*/red/tld)