Detusoko – Malam api unggun merupakan sesi terakhir rangkaian kegiatan Workshop Penguatan Kepemimpinan dan Komunitas, Jejaring Pemimpin Perempuan Muda Inspiratif NTT di Desa Detusoko Barat, Kabupaten Ende.
Kegiatan yang diselenggarakan Yayasan Rumah Solusi Beta Indonesia (RSBI) berkolaborasi dengan Remaja Mandiri Comunity (RMC) Detusoko Barat dan didukung The Samdhana Institute ini digelar selama tiga hari sejak Selasa-Kamis (4-6/10/2022).
Malam api unggun dilaksanakan di tempat pemandian air panas Ae Oka, Kelurahan Detusoko, Kamis (4/10).
Api unggun yang dinyalakan saat malam renungan ini membuka tabir kesan setiap peserta selama berada di Detusoko. Enam belas perwakilan peserta dari berbagai komunitas di NTT ini memberikan kesan yang berbeda tentang Detusoko selama proses belajar ini
Perwakilan Komunitas Embun Molo SoE, Kabupaten TTS Nina Sanam mengaku sangat tertarik dengan Detusoko yang terkenal dengan keindahan dan kesuburan alamnya.
Namun dibalik keindahan alam yang menurutnya komplit ini, Nina melihat ada kebiasaan baik dari masyarakat yang menyediakan tempat sampah di desa dan beberapa destinasi wisata di sekitarnya seperti di Danau Kelimutu dan Kampung Adat Wologai.
“Di sana (Danau Kelimutu) tidak buang sembarang. Sehingga kami pasti terinspirasi untuk membuat tempat sampah di Mutis. Jadi menurut saya, saya mau bahwa satu contoh tempat sampah itu dijadikan contoh untuk membuat tempat sampah di sana,” kata Nina.
Detusoko bagi Nina merupakan jawaban Tuhan atas doanya selama ini, dimana ia berharap bisa berkunjung ke Ende yang terkenal dengan rumah pengasingan Bung Karno dan Danau Kelimutunya.
Perwakilan Komunitas Sanggar Tari Alegra, Arnoldia Ody Ofong mengaku Detusoko banyak berubah sejak kedatangannya untuk kedua kalinya.
Selain pariwisata Desa Detusoko yang banyak berubah dan terkenal dengan pariwisata alamnya, Ody juga menyaksikan keramahan anak-anak usia sekolah dasar di Detusoko.
“Anak-anak kalau kita sapa dan mereka senyum, berarti pendidikan di rumah luar biasa sekali. Terimakasih banyak untuk kesempatan ini,” ungkapnya.
Sementara itu Ria Atasoge, perwakilan Komunitas Tenun Geka Waka Desa Gayak, Kecamatan Ile Boleng, mengaku banyak belajar banyak hal dari Kepala Desa Detusoko Barat, Ferdinandus Watu.
Ria mengaku, pria yang menginisiasi dan mendobrak pola pikir masyarakat Detusoko Barat ini berhasil menginpirasinya untuk bagaimana membangun komunikasi yang baik dan efektif dengan jejaring yang menginspirasi.
Ria yang bersama kelompok perempuan Komunitas Tenun Geka Waka yang bangkit dari Bencana Banjir Bandang Siklon Tropis Seroja pada April 2021 lalu ini bertekad untjk membangun Galeri Tenun Lamaholot di Pulau Adonara, Kabupaten Flores Timur.
Sebelumnya Ria saat kunjungan ke Kelompok Tenun.in di Kelurahan Rewarangga Kabupaten Ende, belajar banyak hal tentang menenun ala perempuan Ende. Ria menemukan beberapa perbedaan cara menenun orang Ende dan orang Adonara di Flores Timur.
“Prosesnya sama, tapi beberapa hal saya temukan berbeda. Ini akan coba saya praktikan saat pulang nanti untuk menghasilkan kualitas tenun yang baik,” kata Ria.
Saat malam api unggun ini, Frengki teman tuli dari Komunitas Adventure Inklusi mengaku senang dengan keramahan orang-orang Detusoko. Dia bahkan sangat gembira melihat anak muda di Detusoko yang bersedia belajar bahasa isyarat.
Bahasa isyarat ini menjadi media komunikasi yang digunakan oleh teman tuli atau difable yang tidak bisa mendengar dengan sesama di sekitar baik teman tuli dan teman dengar.
“Dengan belajar bahasa isyarat, teman-teman sudah berkomunikasi dengan kami. Semua bahasa itu penting, termasuk bahasa isyarat untuk berkomunikasi dengan teman tuli,” kata Anna, salah anggota Komunitas Adventure Inklusi yang selalu setia menjadi penerjemah bahasa isyarat di komunitas ini.
Harus Ada Progres
Kepala Program Pengembangan Kapastias Mitra (Head of Capdev Program) The Samdhana Institute Ita Natalia mengatakan pihaknya terus memberikan dukungan untuk program pengembangan jejaring pemimpin muda di NTT yang berasal dari berbagai komunitas yang tersebar di NTT.
Meski demikian, Ita juga berharap para peserta harus menunjukkan progres di komunitasnya masing-masing setiap kali ada pertemuan lewat workshop ini.
Workshop di Desa Detusoko Barat dilakukan untuk kedua kalinya setelah sebelumnya dilakukan di Sekolah Alam Manusak pada Kamis (9/6) lalu.
“Yang jauh lebih penting adalah bagaimana setelah kita pulang ke daerah kita masing-masing. Harus ada perkembangan dan kita akan sangat support,” kata Ita.
“Tetapi (khusus) untuk teman-teman yang komitmen setelah kembali ke daerah masing-masing. Sehingga ketika ada pertemuan lagi kita ada cerita baru ada progresnya,” lanjutnya.
Perwakilan The Samdhana Institute lainnya Nurul Hidayah mengatakan bahwa alam Detusoko yang indah bisa dikelola dengan baik sangat tergantung pada pemimpin. Baginya, Nando Watu sebagai Kepala Desa Detusoko Barat telah membuktikan hal tersebut.
Terbukti saat ini tidak hanya hasil pertanian dan perkebunan yang melimpah, namun Detusoko Barat telah menjelma menjadi salah satu destinasi ecotourism baru di Pulau Flores memanfaatkan bentang alamnya yang indah perpaduan apik sawah, sungai dengan latar belakang pegunungan.
“Alamnya indah tapi harus ada yang mengelola, tergantung pemimpin. Saya sangat surprise. Bagaimana kepala desa bisa mengelola semua ini dengan baik. Di Detusoko ini bukan hanya keindahan alamanya tetapi penting untuk melihat keterlibatan semua pihak,” ungkap perempuan yang akrab disapa Ulung ini.
Ulung menjelaskan aktifitas berkemah pada hari terakhir kegiatan workshop ini mendorong peserta untuk bisa merekam kembali pengalaman selama tiga hari di Detusoko. Sambil berharap peserta dapat menimba ilmu, Ulung juga yakin bahwa setelah Nando Watu akan ada orang muda yang meneruskan kepemimpinannya.
“Anak-anak muda di sini terlibat sangat aktif dengan berkolaborasi bersama pemerintah. Berkemah di sini sebenarnya kita bangun cara supaya belajar tidak membosankan, belajarnya menyenangkan,” ucap Ulung.
Workshop kedua ini mengambil tema “Tumbuh Kuat, Memperkuat Peradaban” dan akan berfokus pada bagaimana membangun jiwa kepemimpinan yang berkarakter dan beradab (Leadership Character Building), membangun jati diri organisasi/komunitas yang unik dan berkemajuan dan menemukan passion melalui pembelajaran pada role model.
Enam belas perwakilan komunitas yang mengikuti kegiatan ini yakni Komunitas Sanggar Alegra dan Komunitas Petani Milenial dari Lembata, Komunitas Suara Perempuan Alor (Super) dan Komunitas Gereja Tangguh Bencana dari Alor, Komunitas Baca Mataleza dan Yayasan Lumbung Kreatif Inofatif dari Nagekeo, Komunitas Remaja Mandiri, Tenun In dan Komunitas Maiziru Managemenet dari Ende, Komunitas PAPHA dari Sikka, Komunitas Pustaka Bambu dan Kelompok Tenun Geka Waka dari Flores Timur, Komunitas Embun Mollo dari TTS, dan Komunitas Rumah Mentari dan Adventure Inklusi dari Kota Kupang, serta Komunitas Soke dan Sekolah Alam dari Kabupaten Kupang. ***