LEMBATA – Dosen Filsafat dan Etika Univesitas Katolik (Unika) Atma Jaya Jakarta, Erik Langobelen menilai kewenangan pemerintah daerah dalam hal ini Pemerintah Kabupaten Lembata selama 25 tahun otonomi daerah, tidak optimal untuk mendorong akselerasi pembangunan.
Kontrasnya kewanangan Pemda Lembata dengan statusnya sebagai daerah otonom ini bisa terjadi, karena sebagian kewenangan di dalam pembangunan masih sangat bergantung pada pemerintah di tingkat yang lebih tinggi, dalam hal ini pemerintah provinsi dan pemerintah pusat.
Hal ini dikatakan Erik saat mengisi Kelas Demokrasi Batch Empat Nimotafa Institute di Perpustakaan Daerah Goris Keraf, Lewoleba, Jumat (18/10) yang mengusung tema “Arsitektur Pembangunan Dalam Lanskap Politik di Lembata”.
“Hampir semua kebijakan masih bergantung pada pemerintah pusat. Padahal, pintu masuk bagi sebuah kabupaten adalah otonomi daerah. Malah otonomi daerah ini jadi halangan bagi pemerintah dalam melakukan penetrasi kebijakan untuk mendorong pertumbuhan sebuah daerah secara mandiri,” kata Erik.
Sebagai contoh, ia menjelaskan kewenangan pemerintah provinsi atas wilayah laut dari titik tertinggi pasang atau 0-12 mil berdasarkan Undang-undang Nomor 23 Tahun 2014, dengan sendirinya membatasi Kabupaten Lembata di dalam mengelola wilayah laut yang berada di administasi kabupaten pulau ini.
“Imbas langsungnya adalah tidak semua izin investiasi mesti melalui pemerintah daerah atau kabupaten. Dalam optik politik nasional, hal ini mengindikasikan ada upaya pelemahan kuda-kuda otonomi daerah, dan lebih jauh dari itu ada bahaya sentralisasi kebijakan,” kata Direktur Tena Pulo Research ini.
Selain itu, arsitektur kekuasaan dalam lanskap politik di Lembata juga, menurut Erik masih dipengaruhi oleh dominasi partai politik besar di tingkat nasional. Celakanya, lanjut Erik, hampir semua partai politik di Indonesia tidak memiliki basis ideologi yang jelas.
Akibatnya, di dalam dinamika demokrasi Indonesia, partai politik cenderung menggunakan logika pragmatis di dalam menentukan sikap politik, ketimbang logika ideologis.
“Kondisi ini bisa tercermin dalam situasi orang bisa pindah partai dengan mudah, Ratu Wula begitu mudah mengundurkan diri dari keterpilihannya sebagai anggota DPR RI,” imbuh Erik.
Ia melihat masih banyak kebijakan pembangunan di Lembata yang diambil berdasarkan dominasi sikap partai politik yang cenderung pragmatis.
Dalam kondisi seperti ini, Erik menegaskan bahwa sikap kritis masyarakat di dalam meneropong pembangunan memiliki peran penting untuk mengontrol pembangunan itu sendiri. Meski di sisi lain, tuntutan ini menurutnya memberikan tantangan tersendiri di tengah tingkat pengetahuan dan sumber daya manusia (SDM) masyarakat yang masih rendah.
Kelas demokrasi ini diikuti oleh tiga belas warga kelas Nimo Tafa Institute. Mereka berasa dari berbagai kalangan mulai dari masyarakat biasa, ASN, pegiat komunitas, aktivis sosial, pegiat LSM dan jurnalis. (BN/001)