Lewoleba – Suatu hari di bulan November 2021, F, seorang anak berusia 7 tahun sedang berada di sekolahnya di desa Hoelea, Kecamatan Omesuri, Kabupaten Lembata.
Bocah polos ini hendak pergi ke kantin yang berada persis di belakang sekolah. Kantin tersebut dikelilingi pagar sehingga F harus melintas di bagian jalan yang sepi. Di sana, seorang anak laki-laki berusia sekitar 14 tahun mencegat F dan langsung melakukan pelecehan seksual kepada bocah perempuan yang masih duduk di bangku kelas 1 sekolah dasar (SD) itu.
Sejak kejadian itu, kegembiraan F seketika direnggut. Hidupnya berubah. Tak ada senyum merekah di wajahnya. F pulang ke rumah dengan wajah pucat sembari menahan pedih di tubuhnya.
Neneknya melihat perbedaan drastis dari sikap cucunya itu. Ketika ditanya, F tak mau bicara. Dia bungkam seribu bahasa. Setelah hari kedua, bocah itu menangis kesakitan, tak bisa bangun dari tempat tidurnya.
Dia mengeluh kesakitan pada alat kelaminnya. Setelah ditanyakan lagi, F akhirnya mengaku dan menceritakan kejadian paling traumatis dalam hidupnya tersebut.
Seorang bibinya yang kebetulan berada di rumah lantas mengecek dan menemukan luka di bagian alat kelamin anak itu sudah infeksi dan bernanah. Tak terima, keluarga pun melaporkan perbuatan tercela ini di Polsek Omesuri dan selanjutnya di Polres Lembata.
SA, ayah korban yang sedang merantau di Malaysia Barat menghubungi wartawan, Jumat, 4 Februari 2022 dan mengisahkan kisah pilu anak bungsunya itu.
Menurut SA, penderitaan F, anaknya itu ternyata belum berakhir. Di sekolah, F semakin menderita karena dibully oleh teman-teman dan anak-anak sekolah di sana. SA kecewa berat karena sekolah tak sanggup mengatasi hal ini.
“Sekarang saya larang anak saya jangan ke sekolah lagi. Saya mau pindahkan dia ke sekolah lain yang lebih aman. Saya sangat kecewa dengan lingkungan sekolah yang seperti itu,” ujar SA.
Dari tanah rantau, SA kemudian mendapat kabar kalau keluarga pelaku juga mau membayar uang sebesar Rp 15 juta agar keluarga korban mencabut laporan polisi. Kabar ini semakin membuat dirinya terpukul. Bahkan, sempat ada tawar menawar dari keluarga pelaku soal nominal uang yang mau ditebus.
“Saya sedih sekali, anak saya sudah dilecehkan, tidak ada harga diri lagi. Kok ditawar-tawar lagi seperti ini,” ucapnya, sedih.
SA berniat kembali ke Lembata dan mendampingi langsung anaknya. Dia juga berharap proses hukum kepada pelaku tetap berjalan.
Sementara itu, Ketua Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) Perlindungan Perempuan dan Anak Lembata (PERMATA) Maria Loka yang dipercaya keluarga untuk mendampingi korban, menyebutkan kasus pelecehan anak tersebut sebagai sebuah tragedi kemanusiaan.
Menurutnya, kasus pelecehan anak dan perempuan seperti fenomena gunung es di Lembata. Bahkan, banyak kasus yang melibatkan pelaku anak di bawah umur.
Sebagaimana yang terjadi di desa Hoelea, Kecamatan Omesuri, anak perempuan dalam kondisi yang sangat tidak berdaya. Sudah jadi korban, dia bahkan jadi bahan tertawaan di sekolah.
“Kabupaten Lembata sebenarnya sudah darurat kekerasan anak dan perempuan. Kasus ini seperti menampar muka kita para orangtua,” katanya, Minggu, 6 Februari 2022.
Maria Loka sendiri sudah berkomunikasi langsung dengan orangtua korban di Malaysia perihal masalah pelecehan ini. Untuk sekarang korban tidak lagi pergi ke sekolah untuk menghindari perundungan yang terjadi di sana.
Selain itu, katanya, semua bentuk transaksi yang dilakukan keluarga pelaku untuk mencabut laporan polisi tentu tidak sah dan tidak dibenarkan. (Red)