Lewoleba – Advokat Perempuan, Irene Kanalasari mengungkapkan kegelisahannya bahwa banyak korban kekerasan seksual diperlakukan layaknya pelaku.
Ketika mengalami kekerasan seksual, korban akan dipersalahkan dengan berbagai macam alasan. Padahal kasus kekerasan seksual adalah kasus yang langsung menyentuh ranah privat dan berkaitan erat dengan harkat dan martabat seorang perempuan.
“Misalnya, korban akan diberikan justifikasi terhadap caranya berpakaian, kebiasaan keluar malam, atau gaya bicaranya yang genit dan lain-lain. Hal ini malah mengaburkan kejahatan pelaku itu sendiri,” tutur Iren kepada BentaraNet, Kamis (19/1/2023).
Menurut Iren, saat perempuan keluar pada malam hari atau mengenakan pakaian yang menurut kebanyakan orang adalah pakaian yang seksi, tujuannya bukan untuk mendapatkan kekerasan seksual.
Seharusnya, malam hari pun menjadi waktu yang aman bagi perempuan untuk beraktivitas baik dalam bekerja atau refresing.
“Pelaku yang harus disalahkan, jadi orang mau keluar kapan saja harusnya aman, karena ada pelaku yang niat buruk maka ada peristiwa buruk. Ya salahkan pelakunya, tugas kita semua adalah menciptakan ruang dan waktu yang aman bagi siapapun, karena dalam keadaan apapun, melakukan kekerasan seksual tetaplah kejahatan,” ungkap Iren.
Stigma terhadap korban kekerasan seksual, Lanjut Iren, sudah mengakar dalam cara pandang kita.
“Ada kebiasaan kita untuk mengangkat telunjuk terhadap korban perempuan yang mendapatkan kekerasan seksual. Kita menempatkan perempuan sebagai objek, bukan subjek, bukan seorang manusia yang bermartabat.”
Menurutnya, ada pengalaman traumatis korban yang diabaikan dalam beberapa kasus. Mengajak korban untuk menceritakan kejadian yang dialami, kata Iren, sama halnya dengan menempatkan korban pada posisi yang sulit.
Misalnya, dalam penyelidikan maupun penyidikan kasus kekerasan seksual, kadang korban harus dimintai keterangan terkait peristiwa yang dialami. Padahal untuk menceritakan kembali peristiwa tersebut dapat membuat korban semakin terpuruk.
Korban harus diberikan privasi dan waktu yang cukup, juga dukungan dan membangun kepercayaan kembali.
Menurut Iren, banyak jalan yang dapat ditempuh oleh pihak kepolisian untuk mengungkap kasus kekerasan seksual. Tentu Penyidik sudah seharusnya terlatih untuk bergerak cepat dalam melakukan olah TKP, memeriksa saksi-saksi dan mendapatkan barang bukti.
“Jika kesehatan fisik dan psikis korban tidak memungkinkan untuk memberikan keterangan, apakah pihak kepolisian tidak dapat memikirkan jalan untuk menggali fakta dengan cara profesional lainnya?” gugat Iren.
Dia mengatakan, korban sendiri membutuhkan waktu untuk pemulihan baik untuk kesehatan fisik dan psikisnya. Untuk pemulihan trauma, korban akan melewati tiga tahap yang memakan waktu hingga bertahun-tahun, tergantung dari daya pulih korban yang berbeda-beda.
Pada tahap pertama, korban akan berupaya mengatasi ketakutan pasca peristiwa. Kedua, korban berupaya mengingat kembali susunan peristiwa tersebut. Ketiga, korban berupaya membangun kembali relasi sosialnya.
“Ini butuh waktu, maka kalau kita paksa untuk mendapatkan keterangan korban saat korban belum melewati pemulihan ini maka sama saja membuat korban berada di posisi sulit,” Iren menjelaskan.
“Sedangkan korban yang sudah melewati tiga tahap ini saja masih kesulitan menceritakan peristiwa ini pada orang lain. Apalagi korban yang baru mengalami peristiwa kekerasan seksual,” lanjutnya.
Iren berharap pendekatan pada korban kekerasan seksual harus berspektif korban. Jangan ada stigma atau kata-kata yang memposisikan korban melakukan kesalahan sehingga peristiwa itu terjadi.
“Membantu pemulihan korban menjadi tugas kita semua. Saat berhadap dengan korban, kita perlu membangun kepercayaan diri korban. Jika tidak, maka di pikiran korban, semua tempat tidak aman dan nyaman baginya,” pungkasnya.