Boleng – Teater kisah perjuangan seorang ibu atau ina dalam bahasa Lamaholot berjuang membesarkan dan menyekolahkan anaknya, dipentaskan dengan sangat baik oleh anak-anak Kelompok Literasi Murin Boleng.
Pentas teater ini mengangkat tema tenun ikat sebagai aktifitas sehari-hari perempuan di desa Boleng, sebagai mata pencaharian mereka. Mereka begitu piawai menunjukan bagaimana usaha seorang ibu yang kesehariannya menenun lewat aksi teatrikal ini.
Teater ini merupakan satu di antara sekian banyak gelaran seni budaya yang dipentaskan pada Selasa (18/5) malam itu. Pentas seni budaya bertajuk Tane Lou ini juga cukup memukau para penonton yang hadir.
Pelataran sederhana, di ruang remang-remang yang sedikit pencahayaan ini, para pemuda dan pemudi Boleng berhasil mengirim pesan kepada penonton bagaiamana tenun ikat atau neket tenane menjadi bagian penting dari budaya Lamaholot.
Sastrawan Flores Timur, Bara Pattyradja yang hadir sebagai keynote speaker pada malam itu mengapresiasi apa yang telah dipentaskan oleh anak-anak Kelompok Literasi Murin Boleng.
Menurutnya kegiatan ini merupakan inisiatif cerdas anak muda untuk menghidupkan atmosfer literasi, seni dan budaya di Flores Timur, khususnya di desa Boleng.
“Semangat dan atmosfer berkesenian yang cukup masiv dari anak-anak muda. Ada kerinduan mereka untuk berekspresi dan mengaktualisasikan diri. Dan ruang ruang itu memang belum tercipta secara masiv di Flores Timur.”
“Jadi ini adalah Inisiatif yang cerdas untuk menghidupkan atmosfer berkesenian dan berkebudayaan di Flores Timur” ucap Pattyradja.
Kelompok ini literasi ini terbentuk atas inisiasi dari sebagian pemuda yang peduli dan berniat menghadirkan literasi dalam kehidupan orang muda dan anak usia didik di desa Boleng.
Pentas seni ini juga menjadi momentum untuk menunjukan peran pemuda dalam kehidupan bermasyarakat, khususnya orang muda pegiat literasi dalam melestarikan tradisi dan budaya setempat.
Nesta Atasoge, salah seorang anggota Kelompok Literasi Murin Boleng berharap inisiatif anak muda ini mendapat dukungan dari masyarakat setempat.
“Ketiadaan ruang pendidikan non formal membuat orang tua sendiri tidak terlalu berpikir soal ini. Selama ini setiap selesai sekolah, anak-anak muda umumnya membantu orang tuanya untuk menenun tenun ikat,” kata Nesta.
Melalui kelompok ini, mereka berusaha menghadirkan ruang pendidikan non formal bagi anak anak di desa Boleng.
“Dengan tersedianya ruang ini kami berharap para orang tua di sekitar kami bisa melihat, bahwa anak muda juga memang bisa diandalkan untuk menyelesaikan berbagai persolan dan tantangan di desa,” pungkasnya.