Lewoleba – Pihak keluarga korban kekerasan seksual terhadap anak inisial AB (7) warga Kelurahan Lewoleba Barat, Kabupaten Lembata, menyayangkan pelaku inisial GP, usia sekitar 70 tahun, yang hingga kini belum ditahan polisi.
Menurut pengakuan warga, GP diketahui sering melakukan kekerasan seksual terhadap anak di sekitar lingkungan Waikomo Selatan. GP yang dicap sebagai ‘predator anak’ tidak segan-segan merayu anak-anak di sekitar lingkungan ini untuk diraba.
Terakhir, GP dilaporkan keluarga AB pada Rabu (30/6) lalu, karena diduga memasukan jari ke organ intim AB. Nenek korban, Katarina Lodan Henakin mengatakan, aksi ini dilakukan GP sehari sebelumnya yakni pada Selasa (29/6).
Sayangnya, harapan Katarina agar GP ditahan, terkendala tidak adanya proses visum terhadap AB. “Kami ke rumah sakit (RSUD Lewoleba) bersama polisi tapi rumah sakit tolak karena dokter sedang layani pasien Covid-19,” kata Katarina kepada wartawan, Jumat (2/7).
Katarina berharap cucunya segera divisum agar bisa mendapatkan kepastian hukum. Penahanan pelaku juga diperlukan untuk menimbulkan efek jera dan memberikan rasa aman untuk warga sekitar. “Supaya dia juga mendapatkan hukuman setimpal atas apa yang dia buat,” kata Katarina.
Bahkan, keluarga korban saat ini juga diintimidasi karena telah mengadu ke pihak kepolisian.
“Setelah kami pulang lapor dari polisi, anak pelaku melempar rumah kami yang kebetulan berdekatan dan mencekik cucu saya yang satunya. Itu karena dia emosi karena kami lapor dia punya bapa,” ungkap Katarina.
Sehari setelah GP dilaporkan ke polisi, beberapa anak lain di sekitar lingkungan ini pun mengadukan hal yang sama atas aksi yang dilakukan GP.
Direktur LSM Peduli Perempuan dan Anak Lembata (Permata), Maria Loka mengatakan, apapun alasannya korban AB harus divisum untuk kepentingan penanganan kasus ini. Pihaknya juga membuka posko pengaduan terhadap kekerasan seksual yang dilakukan ‘predator anak’ inisial GP ini di Kantor LSM Permata, Waikomo.
Maria menegaskan, semua upaya hukum harus ditempuh untuk memberikan efek jera dan memberikan rasa nyaman kepada anak-anak. Di sisi lain, Maria mengatakan, ada banyak kasus dimana keluarga korban takut melaporkan kejadian ini karena kurangnya saksi dan alat bukti.
“Banyak keluarga korban yang takut karena akan terlibat dalam proses hukum.”
“Kadang-kadang ada juga tidak tau mereka mengadu kemana. Peran aktif pemerintah dan LSM terkait menjadi sangat penting ditengah maraknya kasus kekerasan terhadap anak di Lembata,” kata Maria.
Maria juga membeberkan, sejak Januari 2021, pihaknya telah menerima lebih dari 40 kasus kekerasan terhadap anak di Lembata.
Sosialisasi menurut Maria sangat penting sebagai upaya memberikan pengetahuan kepada masyarakat soal kekerasan seksual terhadap anak. Sementara itu, di sisi lain, upaya sosialisasi ini terkendala pandemi Covid-19.
“Kami tidak bisa berbuat apa-apa untuk sosialisasi saat ini karena terhambat korona. Nah ini yang jadi persoalannya kenapa masyarakat sulit untuk melaporkan aduan kekerasan seksual terhadap anak,” imbuhnya.
Oleh karena itu, Maria berharap pemerintah Kabupaten Lembata juga lebih serius menangani kasus-kasus kekerasan seksual terhadap anak dan gencar melakukan sosialisasi perlindungan anak di Kabupaten Lembata.
Dia menegaskan, LSM Permata akan terus mendampingi korban untuk menempuh jalur hukum atas kekerasan seksual yang dilakukan GP. “Kami akan terus dampingi korban dan kawal penanganan kasus ini. Ini sudah terlalu banyak korban anak-anak di sekitar sini,” pungkasnya. (Red)