Lewoleba – Kondisi memprihatinkan terjadi di lokasi pengungsian atau hunian sementara milik penyintas banjir bandang dan longsor di Kabupaten Lembata. Para pengungsi terpaksa minum air asin lantaran tidak mampu membeli air bersih.
Air asin ini mereka peroleh dari sumur-sumur bor yang berada di kebun-kebun dan di sekitar lokasi hunian sementara. Untuk mendapatkan air bersih per drum ukuran 200 liter, mereka harus merogoh kocek hingga Rp 15 ribu.
“Mau bagaimana lagi, air sumur ini kan asin sekali dan payau, kami puluhan KK konsumsi saja setiap hari. Mau mandi, cuci piring, masak, minum juga dengan air asin itu saja,” ungkap Helena Kewa, penyintas asal desa Tanjung Batu Kecamatan Ile Ape ketika ditemui wartawan pada Rabu (21/9) pagi.
Kondisi ini juga menyebabkan anak-anak mereka terserang sakit seperti batuk keras. Bahkan beberapa penyintas mengaku anak-anak mereka mudah diserang penyakit kulit karena alergi.
Kendati demikian, kata Helena, mereka beruntung dibantu dengan beberapa obat-obat generik yang diberikan Bidan Desa yang bertugas di daerah itu.
“Anak-anak sering batuk keras kalau minum air asin, apalagi musim Corona begini, kami jadi waswas juga, untung saja Bidan beri obat dan kita beri mereka minum,” kata perempuan 48 tahun ini.
Helena mengisahkan, sudah sebulan mereka tidak mendapat bantuan air bersih dari pemerintah. Karena itu, mereka terpaksa membeli air dari mobil tangki.
Selain untuk membeli air bersih, Helena pun menuturkan bahwa, mereka juga harus menyisihkan sebagian pendapatan dari penjualan hasil pertanian guna membiayai kebutuhan makan minum serta uang sekolah anak-anak.
“Air satu mobil tangki itu 300 ribu, kita terpaksa beli satu dua drum saja, harganya 15 ribu per drum, mana lagi kami ini petani, makan minum juga belum, uang sekolah anak-anak lagi dan belum isi pulsa belajar Online, intinya krisis sekali,” keluh Helena.
“Kami lihat dari Plan, PMI, Taman Daun itu yang bagi bagi air, walau tidak setiap hari, tapi mereka bantu nanti kami bagi per ember atau drum saja,” tambahnya.
Hal yang sama dikatakan Apolonaris Goran, penyintas asal desa Waimatan, Kecamatan Ile Ape Timur.
Menurut Goran, selama ini mereka hanya mengonsumsi air sumur asin di dua sumur berbeda yang letaknya persis di pinggir pantai.
Padahal, kata dia, sudah ada profil tangki air milik BPBD yang disiapkan untuk membantu penyaluran air bersih bagi penyintas yang tinggal di sekitar lokasi perkebunan.
“Sudah satu bulan, bilang air bersih pemerintah untuk kami pengungsi ini tidak ada. Kami masak makan, minum dengan dua air sumur di pinggir pantai itu saja,” terang Goran ketika ditemui wartawan di pondok yang menjadi tempat tinggal mereka di lokasi perkebunan Wai Gokok, Rabu (22/9).
Dijelaskannya, sejak terjadi bencana alam Siklon Tropis Seroja pada 4 April 2021 lalu hingga sekarang, sebanyak 15 KK memilih tinggal di lokasi perkebunan Wai Gokok.
Goran juga menyebutkan bahwa, ke 15 KK tersebut semuanya berprofesi sebagai petani sehingga hanya sekedar membeli air bersih mereka sangat kewalahan.
Dan hal itu, lanjutnya, mereka terpaksa mengonsumsi air sumur asin yang bagi mereka adalah satu-satunya penyelamat dikala krisis air bersih seperti saat ini.
“4 April kemarin kan bencana, walau hujan bagus dan hasil jagung dan lain lain juga baik, tapi karena bencana kami tidak perhatikan itu, mau selamatkan diri atau urus kebun, terpaksa sekarang kami semua seperti ini,” kenang pria 46 tahun ini.
Goran yang adalah salah satu korban penyintas terparah asal desa Waimatan ini pasrah atas kondisi mereka yang luput dari perhatian pemerintah.
Dia tidak meminta banyak hal, cukup pemerintah daerah bantu mereka air bersih, minimal 1 tangki air per dua minggu, dan itu baginya sudah lebih dari cukup.
“Ada 15 KK tinggal di 11 pondok berbeda, dan ada profil tangki air BPBD di sini tapi selalu kosong setiap minggu, kami pasrah saja, mau makan minum dengan air asin juga kami setia saja,” terangnya pasrah. (Red)