Lewoleba – Pelaksanaan kebijakan iklim yang dikerjakan oleh Pemerintah di Kabupaten Lembata memiliki tantangan tersendiri.
Hal ini disampaikan oleh Koordinator Divisi Media dan Advokasi, Alfred Ike Wurin, usai mengikuti Workshop Inisiatif Pendanaan Iklim dalam Upaya Pendukung Mitigasi dan Adaptasi Perubahan Iklim di Daerah, di Moting Ema Maria LSM Barakat, Lewoleba, Senin (31/11/2022).
Tantangan ini menjadi soal lain di samping keberhasilan yang telah dicapai dalam mendorong mitigasi dan adaptasi kultural.
Alfred menerangkan, ada mispersepsi antara perencanaan dengan pelaksanaan. Misalnya perencanaan berangkat dari sprit ekologi lalu pada tahap pelaksanaan berubah menjadi ekonomi.
“Contohnya, dalam penetapan hutan kota yang bertujuan ekologi namun dalam pelaksanaan berubah tujuan menjadi ekonomi,” ungkap Alfred.
Menurut Alfred, ini merupakan suatu kondisi yang menghambat upaya pemerintah sendiri dalam mencapai tujuan dari kebijakan iklim.
“Jadi memang political will di level pengambil kebijakan sudah ada tapi yang melakukan kerja operasional belum memahami sehingga ada kendala,” tegas Alfred.
Alfred melanjutkan, persoalan utamanya ada pada paradigma. Paradigma yang baik akan menghasilkan perencanaan yang baik. Perencanaan yang baik akan menghasilkan teknis yang baik.
“Namun bisa berubah ketika paradigma bagus, konsep bagus tapi teknisnya sudah berbeda,” jelas Alfred.
Lalu ada kebijakan iklim yang sifatnya teknis justru diberikan kewenangan pada pengelola administrasi. Misalnya persoalan sampah yang seharusnya dikelola oleh Dinas Lingkungan Hidup justru diberikan kepada kecamatan.
Tidak ada yang salah namun dalam hal ini, butuh penyelarasan atau kesesuaian antara paradigma, konsep dan teknis. Selain itu, persoalan sampah tidak semata urusan estetika tapi juga etika lingkungan.
Menurut Alfred, paling tepat jika dikembalikan kepada OPD teknis. Bukan berarti menghilangkan peran Pemerintah Kecamatan. Namun Pemerintah Kecamatan sampai mengambil peran pada urusan pemberdayaan yang berkaitan dengan sampah.
Lain hal di tingkatan desa. Intervensi anggaran untuk kebijakan iklim belum menjadi prioritas. Di desa, lebih banyak bicara soal pariwisata dan isu-isu lainnya.
“Ini juga soal pemahaman di tingkat desa tentang bagaimana hubungan antara isu perubahan iklim dan isu lainnya, mengapa saling berhubungan dan lain sebagainya,” jelas Alfred.
Menurutnya, semua isu yang menjadi prioritas di desa saat ini memang penting, tetapi dasarnya adalah perubahan iklim yang kemudian berdampak pada isu-isu lainnya.
“Ini butuh proses penyadartahuan sehingga desa melihat sejauh mana perubahan iklim berdampak pada semua aspek kehidupan manusia. Supaya desa melihat penting atau tidak isu perubahan iklim,” tutup Alfred.