LEMBATA – Tangan Stephani Abon (40) tidak berhenti memindahkan timbunan buah tomat satu per satu ke atas dacin. Ia menghitung dengan cermat setiap satu kilogram yang ia timbang selanjutnya dipindahkan ke karung yang telah disediakan.
Di bawah gubuk yang letaknya persis di tengah kebun sayur organik ini, Setphani menunggu para pedagang dari Lewoleba, Ibukota Kabupaten Lembata untuk memborong berbagai jenis sayur hasil panen. Selain tomat, ada juga sayur pare dan kacang panjang yang ia salurkan ke konsumen di Lewoleba melalui para pedagang.
Kebun sayur-sayuran organik ini berada di arah barat, tidak jauh dari Desa Dulitukan, Kecamatan Ile Ape, Kabupaten Lembata. Letaknya persis di pinggir jalan antara Desa Dulitukan dan Desa Kolipadan yang masuk dalam kawasan tanjung.
Hamparan perkebunan di wilayah ini hampir setiap tahun mengalami gagal panen karena curah hujan yang sangat rendah. Para petani kerap mengalami kerugian yang tidak sedikit akibat jagung-jagung hibrida yang mereka tanam ‘keburu’ mati sebelum berbunga.
Namun lain cerita bagi Stephani dan sang suami Ignasius Suyadi Aur (40). Semenjak membudidayakan sayur-sayur organik penghasilan mereka malah bertambah secara rutin setiap bulan selama musim hujan.
“Kadang kalau lagi ramai itu dalam sehari kami bisa menjual sampai Rp 400 ribu. Karena sayur-sayuran seperti tomat di sini menurut papalele (pedagang) tahan lebih lama. Kalau ambil di tempat lain yang mereka pakai pupuk kimia kadang bertahan tiga hari saja dan membusuk,” kata Stephani.
Di sekeliling gubuk ini Ignasius tampak sibuk membersihkan gulma selanjutnya ditimbun di sekitar barisan tanaman tomat. Hal yang sama juga ia lakukan pada tanaman terung. Ia membuat parit jebakan agar air hujan yang turun tidak menyebar ke tempat lain dan bahkan bisa terbuang ke laut.
“Cara ini harus kami lakukan karena hujan di sini kadang turun sesekali. Jadi kalau hari ini hujan itu tanah disekitar sini masih kelihatan lembab sampai dua hari, apalagi kita tutup dengan rumput liar yang dicabut di sekitar sini,” ujar Ignasius.
Ignasius mengatakan ia mulai menanam sayur-sayuran ini sejak 2023 lalu. Namun ia tidak melakukan ini sepanjang tahun karena kebutuhan air untuk tanaman sayur hanya bisa dipenuhi saat musim hujan.
“Masuk ini tahun ya tiga musim. Kalau musim panas tidak menanam karena kita di sini kan susah air toh. Kalau kita beli air tangki itu mahal sekali,” ujar Ignasius.
Sementara itu di musim hujan, ia terpaksa membeli air tangki jika hujan tidak turun selama satu minggu. Beruntung, di musim tanam kali ini curah hujan cukup untuk mereka. “Kadang dua tiga hari baru hujan turun jadi aman,” ujarnya.
Menurut Ignasius, tanah di wilayah Tanjung Ile Ape sesungguhnya merupakan tanah subur yang tidak memerlukan intervensi pupuk kimia. Cukup dengan pupuk kandang, ia bisa menghasilkan buah tomat dan terung yang segar.
“Kualitasnya bagus sehingga kami pakai pupuk kandang saja. Kalau saat ini buah-buah yang ada ini panen terakhir. Mungkin setelah ini kita lihat, kalau hujan masih bagus kita kita bisa tanam lagi, tapi kalau tidak berarti kita berhenti dulu. Hujan susah diprediksi sekarang,” kata Ignasius.

Igansius mengisahkan ia mulai menanam sayur-sayuran organik ini terinspirasi dari keponakannya yang selama ini membudidaya sayur organik di Amarasi, Kabupaten Kupang. Dia mendapatkan banyak pengetahuan dan petunjuk untuk satu musim tanam di tahun 2023.
“Dia yang kasih tunjuk menanam begini. Sebelumnya itu tidak ada petani di sini yang menanam macam begini (Sayuran organik). Semua orang tanam jagung. Lalu saya sebelumnya juga pernah alami gagal panen terus,” ungkap Suyadi.
Lima tahun lalu, Suyadi merupakan satu di antara 3.260 kepala keluarga yang tersebar di Kecamatan Ile Ape yang terdampak gagal panen. Data Dinas Pertanian Kabupaten Lembata untuk musim panen 2019/2020 menunjukkan kerusakan tanaman jagung di Kecamatan Ile Ape akibat kekeringan yang berkepanjangan mencapai 1545,26 hektar lahan.
Curah hujan yang tidak menentu dan serangan hama menjadi momok bagi para petani di wilayah ini. Untuk jangka pendek para petani selalu menggunakan pupuk dan pestisida kimia untuk menyelamatkan tanaman jagung hibrida.
Cara seperti ini menurut Ignasius justru akan menurunkan kualitas tanah dan meningkatkan ketergantungan tanah terhadap pupuk. “Jadi saya memilih beralih ke budidaya sayur-sayuran ini,” ucapnya.
Meski tidak mudah saat perawatan awal mulai dari pembibitan sampai masa tanam, Igansius mengakui bahwa dengan beralih ke tanaman sayur-sayuran organik mampu mencegahnya menggunakan pupuk dan pestisida kimia.
“Lebih mudah tanam sayur daripada jagung hibrida. Memang awalnya cukup sulit ketika kita lakukan pembibitan, semai dan menanam. Memang jenjang wakutnya dua sampai tiga bulan baru kita panen. Awal perawatan lumayan capek tapi setelah itu kan kita tinggal panen,” ujarnya.
“Kalau ada pokok (pohon) yang mati tinggal kita ganti. Jadi tidak perlu pupuk kimia. Saat kita petik sampai jual itu setiap hari kita panen,” lanjutnya.
Ia berencana akan membuat jebakan hujan yang lebih besar untuk musim tanam di tahun berikutnya. “Sejauh ini tanaman sayur-sayuran menurut saya lebih baik, hanya kita kekurangan air saja,” kata Ignasius.
Jika ada sumur bor mereka akan bisa terus menanam satiapmusim. Ignaius mengungkapkan Pemerintah Pusat pernah melakukan survei pembangunan sumur bor tapi tidak terwujud sampai saat ini.
Selama ini, Pemerintah Kabupaten Lembata hanya bisa memberikan dukungan lewat tenaga penyuluh lapangan untuk mendampingi para petani ini. Pemberian bantuan dengan konsep kelompok tani juga menurut Ignasius cukup menyulitkan mereka untuk mendapatkan akses bantuan dari pemerintah.
“Dari dinas (Kabupaten Lembata) memang mereka dukung tapi sekedar konsultasi. Kalau mau kasih bantuan kita harus bentuk kelompok sementara kita ajak orang-orang kita ini agak susah,” katanya.
Menanti Langkah Strategis Pemda

Inisiatif lokal masyarakat seperti ini menurut Direktur LSM Barakat Benediktus Bedil harus didukung penuh oleh pemerintah melalui berbagai program dan kebijakan.
Menurutnya, Pemda Lembata tidak boleh tinggal diam jika petani sudah punya inisiatif menempuh dan menemukan cara yang tepat unutk menghadapi ancaman gagal panen akibat perubahan iklim.
Apalagi, lanjut Benediktus, pemerintahan baru Kabupaten Lembata dibawah kepemimpinan Bupati Petrus Kanisius Tuaqdan Wakil Bupati Mohamad Nasir Laode mendorong nelayan tani dan ternak sebagai leading sektor pembangunan lima tahun ke depan.
Dukungan pemerintah terhadap penggunaan pupuk kimia pada jagung hibrida selama ini menurut Benediktus merupakan upaya untuk memperkuat ketahanan pangan, bukan upaya untuk mewujudkan kedaulatan pangan.
Penggunaan pupuk kimia pada jagung hibrida selama ini akan menurunkan kualitas tanah dan justru akan meningkatkan ketergantungan tanah dan tanaman terhadap pupuk kimia yang sering digunakan.
“Karena konsepnya ketahanan pangan maka perlu ada pupuk kimia, jagung hibrida, pestisida kimia dan lain sebagainya. Dan itu yang tidak kita anjurkan. Kalau mau bilang pupuk dan pestisida sebenarnya kita punya sumber daya yang cukup untuk pupuk organik dan pesitisida alami,” ujar Benediktus.
Ia menegaskan bahwa inisiatif lokal petani di desa Dulitukanyang beralih dari tanaman jagung hibrida dengan dukungan pupuk kimia ke budidaya sayur-sayuran dengan pupuk organik harusnya dilihat pemerintah sebagai modal utama dalam mewujudkan kedaulatan pangan di Lembata ditengahancaman krisis iklim.
Program-program seperti bantuan pompa air dan pelatihan pembuatan pupuk organik dan pestisida alami bagi masyarakat harus gencar dilakukan oleh Pemerintah Kabupaten Lembata untuk merespon hal baik yang sudah mulai dilakukan oleh masyarakat ini.
“Ini merupakan langkah strategis yang harus diambil oleh Pemerintah Kabupaten Lembata,” ucap Benediktus.
Menurutnya, jika didampingi dengan baik melalui intervensi kebijakan yang tepat, tidak sulit bagi masyarakat untuk menerapkan konsep pertanian cerdas iklim yang akan bermuara pada terwujudnya kedulatanpangan masyarakat Kabupaten Lembata.