LEMBATA – Percakapan mengenai kematian mewarnai bincang buku Hendelinus karya Ricko Blues yang digelar Nimo Tafa Institute di Mario Caffee Lewoleba, Sabtu, 29 Juni 2024.
Focal point buku kumpulan cerpen ini menurut teman bincang malam itu, Rian Naur, mengerucut pada eksistensi purba manusia, yakni kematian.
Rian menilai, ‘kecanggihan’ berpikir Ricko terletak pada tema kematian yang mewarnai sebagian besar cerita pendek di dalam buku ini.
“Ini yang menarik. Di sinilah letak kecanggihan berpikir Ricko. Ia tahu, selain bonnum, ada malum dalam diri manusia. Keduanya saling beririsan,” kata Rian dalam catatan pembuka diskusi malam itu.
Sebagai contoh, ia menjelaskan secara gamblang, wujud kebrutalan, pembunuhan, sadisme, dan deifikasi kematian dalam kisah Hendelinus, menggambarkan sisi buruk manusia.
Meski demikian, menurut Rian, cerita pendek lain seperti Percakapan di Tempat Pangkas Rambut, menarasikan antitesa dari pakem kematian.
Satu di antaranya saat dialog tokoh Don. Menurut Don dalam kisah ini, kematian tidak akan habis dibicarakan.
Don dalam dialog ini mengajak pembaca untuk lebih baik membicarakan tentang kehidupan, karena di sana ada harapan.
Acara ini dihadiri beberapa perwakilan komunitas literasi di Lembata, di antaranya pengurus Nimo Tafa Institute, Pondok Baca Kopi Pa Nas, Taman Baca Kampung Kodok, Pewalet Lembata dan beberapa siswa SMA Frateran Don Bosco Lewoleba.
Mengkonfirmasi apa yang dikatakan Rian, Eman Krova salah seorang pendiri Nimo Tafa Institute mengatakan, Buku Hendelinus layak dibaca oleh semua orang.
Meski berkisah tentang kematian, cerita-cerita dalam cerpen ini, menurut eman sebenarnya sedang memberikan makna dari kehidupan itu sendiri.
Ia merujuk pada filsuf Martin Heidegger, yang mengatakan bahwa dengan berbicara tentang kematian, kita menghargai kehidupan.
“Tidak bermaksud menyamakan apa yang dikatakan Haidegger, tetapi jika dielaborasi, memaknai apa yang ditulis Ricko, maka memang kita menyadari dengan berbicara kematian kita sedang mengagungkan kehidupan,” ucap Eman.
Ia mencontohkan, luapan emosi yang tak terkendali dari tokoh utama dalam cerpen pertama berjudul Hendelinus, bisa jadi dirasakan sebagai sesuatu yang biasa dari kodrat manusia yang mengakibatkan terjadinya peristiwa pembunuhan.
Namun di sisi lain, Eman mengajak peserta yang hadir untuk mengambil jarak dari tokoh utama yakni Hendelinus yang tersulut emosinya dan membunuh seorang yang mencuri kambing miliknya.
“Ternyata ruang hidup dari orang yang dibunuh itu diwarnai dengan tindakan-tindakan yang tidak bermakna. Dan itu setara dengan apa yang dikatakan Haidegger, dengan berbicara tentang kematian, kita menghargai kehidupan,” kata Eman.
Menurutnya, kematian dan kehidupan merupakan dua hal yang menjadi titian menuju kepenuhan manusia.
“Saya melihat bahwa kumpulan cerpen (Hendelinus) itu, omong tentang kematian. Tetapi (Kumpulan cerpen ini) mengatakan bahwa kematian itu indah sejauh kehidupan itu dimaknai,” pungkas Eman.
Kegiatan bincang buku ini merupakan satu di antara program rutin yang dilaksanakan Nimo Tafa Institute. Selain bincang buku, dua program reguler lain yakni Kelas Demokrasi dan Talk Show. (BN/001)
Mantap Nimo Tafa= Sendiri tumbuh atau Tumbuh dengan sendirinya