Lewoleba – Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) menjadi alasan dalam kasus perceraian yang terjadi di Kabupaten Lembata.
Hal ini disampaikan Direktris Kantor Pengacara Nurhayati Kasman, S.H dan Rekan saat ditemui di rumahnya pada hari Senin (17/10/2022).
Perempuan pengacara ini menuturkan bahwa sejak Januari hingga Oktober Tahun 2022, Firma Hukumnya sudah mendampingi 15 kasus perceraian.
Kasus yang didampingi tersebar di Empat kecamatan yaitu Ile Ape sebanyak tiga kasus, Omesuri empat kasus, Buyasuri enam kasus dan Nubatukan dua kasus.
“Semuanya cerai karena awalnya istri mendapatkan kekerasan dari suami baik verbal maupun fisik. Belum lagi kita lihat di kawan pengacara lainnya yang dampingi juga,” ungkap Nurhayati.
Menurut Nur, akar kekerasan ini berangkat dari sistem patriarki yang beranak-pinak dalam kehidupan sosial masyarakat.
Perempuan sering dianggap makhluk kelas dua setelah laki-laki. Perempuan dipandang sebagai pelengkap dalam rumah tangga.
Pandangan ini menciptakan dominasi laki-laki terhadap perempuan sehingga membuat suami menjadi bebas bertindak sesuka hati kepada istri.
“Istri sering dipukul dengan alasan-alasan yang sepele. Padahal di rumah, istri sudah banyak bekerja mulai dari memasak, mencuci, menyapu dan lain-lain,” ungkap Nurhayati.
Lanjut Nurhayati, ketika kekerasan terjadi, normalisasi tindakan kekerasan atas nama budaya pun dilakukan. “Saya sudah belis kau jadi saya bisa pukul kau,” ungkap Nurhayati mengutip cerita korban.
Rentetan kekerasan ini tentu memiliki dampak. Perempuan yang mendapatkan kekerasan akan mengalami trauma. Bahkan ada perempuan yang sampai ketakutan saat menghadapi suaminya.
“Ada korban yang bahkan hilang kepercayaan diri jadi kalau ada kumpul-kumpul pasti mereka menghindar,” jelas Nurhayati.
Dalam kondisi ini, perempuan tidak mudah membebaskan dirinya. Ada situasi lain yang membuat perempuan akan terjebak dalam kondisi ini.
“Ya, ini juga soal. Orang kadang bilang korban ni bodoh sekali, kenapa tidak cerai saja. Padahal tidak sesederhana begitu ceritanya. Ada alasan lain yang harus kita pahami,” terang Nurhayati.
Misalnya, secara ekonomi perempuan bergantung pada suami sehingga memutuskan bercerai pun akan berpikir dua kali. Begitupun stigma janda yang membayangi perempuan yang ingin bercerai.
Di masyarakat, status janda selalu dikaitkan dengan hal-hal yang negatif. Padahal menjadi janda merupakan pilihan sadar perempuan untuk keluar dari kondisi yang tidak menguntungkan, kecuali alasan kematian.
Banyak pula orang yang mengingatkan perempuan untuk tidak bercerai karena alasan agama. Menurut Nurhayati, ini merupakan alasan yang tidak menguntungkan perempuan.
“Masa kita lebih memilih perempuan kena pukul terus dari pada dia bebas menata kehidupan yang lebih baik,” gugat Nurhayati. Masalah yang kompleks tidak bisa menggunakan kacamata kuda lalu membuat kesimpulan yang paling sederhana.
Tambah Nurhayati, yang paling memilukan adalah ketika perempuan yang mengalami kekerasan tidak berani bersuara. Meskipun ada yang berani, namun yang memilih diam jauh lebih banyak.
Perempuan akan memiliki keberanian untuk bersuara ketika sudah terbuka dengan keluarga atau teman-temannya. Sebab lingkungan yang support, sedikit atau banyak, akan memberi kekuatan bagi perempuan yang mengalami kekerasan.
“Makanya penting bagi kita untuk ciptakan suasana yang aman dan nyaman bagi perempuan sehingga mereka bisa percaya untuk cerita ke kita,” terang Nurhayati.
Saat mendampingi korban, hal pertama yang dilakukan Nurhayati adalah memahami pengalaman trauma korban. Langkah tersebut dilakukan agar dapat menghindari hal-hal yang membangkitkan traumanya.
“Setelah itu baru advis hukum berbasis adil gender. Jadi kita jelaskan dulu dampak, manfaat, kekurangan dan kelebihan sehingga perempuan bisa putuskan langka mana yang akan kita tempuh,” jelas Nurhayati.
Tambah Nurhayati, Ada korban yang setelah bercerai merasa seperti semua beban telah hilang. Ada pula yang masih dalam tahap pemulihan dan ada yang masih menanggung beban karena masih berhadapan dengan mantan suami dalam urusan harta bersama.
Nurhayati berharap, agama dan budaya harus mengambil peran penting dalam upaya pencegahan kekerasan. Sebab agama dan budaya selalu menjadi tameng bagi pelaku untuk membenarkan setiap tindakan kekerasan.
“Kristalisasi nilai-nilai luhur dan nilai-nilai kebaikan dalam agama itu yang perlu dilakukan. Sehingga orang tidak ikut tafsir mereka untuk membenarkan kekerasan,” tutup Nurhayati. ***