Banitobo – Salah satu titik safari budaya dalam agenda event Eksplorasi Budaya Lembata Sare Dame adalah desa Banitobo, Kecamatan Lebatukan pada Kamis (10/2/2022).
Di desa ini, masyarakat adat etnis Lamatuka melaksanakan ritual Gwal’le Lol’lo Mas’sa Do’a. Bupati Lembata, Thomas Ola Langoday bersama rombongan savari budaya turut menyaksikan ritual ini.
Ritual sakral ini dilakukan masyarakat setempat untuk mendamaikan para pihak yang bertikai. Secara harafiah, Gwal’le Lol’lo Mas’sa Do’a memiliki arti tukar sirih pinang, panggil masuk.
Jika diterjemahkan dalam konteks tujuan ritual adat, maka ritual ini diyakini oleh masyarakat adat Lamatuka sebagai salah satu ritual untuk menyatukan kembali pihak-pihak yang bertikai agar hidup dalam persaudaraan.
“Ritual ini dibuat mulai dari pintu masuk hingga di dalam rumah adat atau rumah suku. Ritual dilakukan oleh para dukun (Molan) atau orang yang dipercayakan secara khusus,” kata Piter Ruing, salah satu masyarakat adat Lamatuka.
Piter menjelaskan, ritual ini juga dilakukan dengan memerhatikan konflik yang terjadi. Apakah konflik yang terjadi adalah konflik ringan atau konflik yang terbilang berat dan telah lama dibiarkan terjadi.
Secara umum, ritual ini dibagi ke dalam dua tahap yakni Gwal’le lol’lo dan Mas’sa do’a.
Gwal’le lol’lo dilakukan di pintu masuk rumah yang dimulai dengan penukaran tempat kapur sirih atau bewasa dari kedua pihak yang bertikai. Pertukaran bewasa dilakukan sebanyak empat kali.
Setelah empat kali pertukaran bewasa, kedua pihak kemudian makan sirih pinang bersama-sama. Pertukaran bewasa dan makan sirih pinang ini menandakan bahwa kedua belah pihak sudah saling memaafkan dan sepakat untuk berdamai.
Tahapan selanjutnya adalah Mas’sa Do’a. ‘Mas’sa Do’a adalah ritual memanggil kedua pihak yang bertikai masuk ke dalam rumah suku.
“Paggilan untuk masuk rumah suku ini dilakukan sebanyak empat kali. Pada panggilan pertama sampai ketiga, yang dipanggil tidak boleh menjawab. Yang dipanggil baru bisa menjawab pada panggilan yang keempat,” Piter menjelaskan.
Setelah menjawab, barulah yang dipanggil boleh masuk kedalam rumah dan bersalaman dengan tuan rumah.
Setelah sama-sama berada di dalam rumah, rangkaian ritual dilanjutkan dengan makan bersama atau Betti Golle. Yang menjadi acara inti dari Betti Golle ini adalah saling suap antara kedua belah pihak yang telah berdamai.
“Saling suap makanan memberi pesan perdamaian yang luhur dari ritual Gwal’le Lol’lo Mas’sa Do’a. Kehidupan manusia dengan berbagai persoalan sosial termasuk pertikaian dengan sesama harus bisa diselesaikan,” ungkapnya.
Penyelesaian tidak hanya berhenti pada saling memaafkan dan berdamai, tetapi lebih dari itu harus bisa saling mendukung untuk mencapai kemajuan hidup bersama. “Saling suap makanan memberi pesan hidup saling membantu dan bekerjasama dalam hidup setelah berdamai. Inilah persaudaraan sejati,” pungkasnya.
Sementara itu Bupati Lembata, Thomas Ola Langoday yang turut menyaksikan ritual ini memberikan apresiasi kepada seluruh masyarakat adat yang turut memperkenalkan ritual ini kepada masyarakat Lembata dan dunia, khususnya generasi muda.
Dia mengatakan, pemerintah hadir, menyatu dan menemukan bahwa sembilan komunitas adat yang mereka kunjungi merasa sangat dihargai selama safari budaya ini.
“Mereka merasa dihargai, derajat mereka terangkat dan peran mereka diwariskan dan hidup sampai dengan hari ini,” kata Thomas.
“Kedua, Peran suku juga dihidupkan kembali. Setiap suku menyadari bahwa peran mereka diwariskan oleh para leluhur kita. Ada yang berperan di utara, selatan, timur dan barat. Tetapi ada juga yang berperan di pusat, Uak Tukan Waimatan, Lewopuken Tanah Alate,Belen Raya, Kepitan Kepala.” (Red)