Oleh : Dominikus Karangora (Kordinator Deks Bencana WALHI NTT)
Puncak Badai Siklon Tropis Seroja pada 4 April 2021 dini hari telah memicu tingginya intensitas hujan, angin kencang, dan gelombang selama lebih dari tiga hari. Hal ini menjadi penyebab terjadinya banjir bandang, banjir pesisir, dan tanah longsor di Nusa Tenggara Timur (NTT).
Dampak bencana semakin besar dan meluas karena lingkungan tidak lagi memiliki daya tampung dan daya dukung yang memadai akibat perambahan dan alih fungsi hutan, pembangunan infrastuktur, serta proyek investasi skala besar.
Berdasarkan data yang dihimpun Posko Informasi Bencana Hidrometeorologi Walhi NTT, setidaknya, 181 jiwa meninggal dunia, 47 jiwa dinyatakan hilang, dan 470.754 jiwa di 20 kabupaten/kota mengungsi.
Jika ditinjau dari jumlah korban jiwa maka dampak terparah terjadi di Kabupaten Flores Timur, Kabupaten Lembata, Kabupaten Alor dan Kabupaten Malaka. Sementara jika ditinjau dari luasan wilayah terdampak, Kabupaten Malaka dan Sumba Timur merupakan wilayah dengan dampak bencana yang paling luas.
Bencana iklim ini juga memberikan dampak yang luar biasa terutama pada pulau-pulau kecil yaitu pulau Adonara, Lembata, Alor dan Pantar. Berdasarkan data yang dihimpun WALHI NTT, jumlah korban meninggal di empat pulau ini mencapai 174 jiwa dan korban hilang mencapai 37 jiwa. Sebaran bencana di empat pulau kecil ini terjadi di 25 desa/kelurahan.
Luasnya sebaran dampak bencana membuat pemerintah daerah mengalami kesulitan dalam penyelenggaraan penanggulangan bencana, sehingga menimbulkan dampak bencana lanjutan bagi masyarakat penyintas.
Misalnya, di Kabupaten Lembata, masih terdapat wilayah yang masih kekurangan bahan makanan karena rusaknya lahan pertanian maupun putusnya akses menuju lahan pertanian.
Dampak komulatif ini terjadi akibat gagapnya pemerintah di masa tanggap darurat. Terkait dengan pemenuhan hak masyarakat penyintas pun masih jauh dari standar minumum respon bencana (sphere).
Jika pemerintah tidak mampu dalam proses tanggap darurat maka seharusnya pemerintah ukur kuat memang di urusan mitigasinya, mengingat banyaknya imbauan oleh ahli-ahli perubahan iklim bahwa akan terjadi bencana hidrologi atau hodrometeorologi.
Berkitan dengan siklon pun Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisikasa (BMKG) juga telah memberikan peringatan dini bahkan sejak 03 April 2021.
Alih-alih melakukan kajian mendalam, pemda justru mengeluarkan berbagai kebijakan yang tidak ramah lingkungan yang kemudian berkontribusi besar terhadap rusaknya wilayah-wilayah penyangga.
Padahal jika valuasi lingkungan dilakukan, keuntungan investasi tidak sebanding dengan kerugian akibat bencana yang sudah mengorbankan ratusan jiwa masyarakat NTT.
Pelaksanana Kebijakan Mitigasi Bencana di Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil
Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) sebagai provinsi dengan mayoritas pulau-pulau kecil dan berada di lintasan garis khatulistiwa serta sebagian wilayahnya berada di jalur ring of fire, sudah semestinya menjadi perhatian khusus bagi Pemerintah Daerah untuk lebih waspada terhadap bencana iklim yang akan terjadi.
Ruang gerak masyarakat di pulau-pulau kecil untuk mengevakuasi diri secara mandiri pada saat terjadi bencana maupun relokasi pasca bencana sangat terbatas.
Menghindari gunung berapi terancam banjir pesisir, menghindari banjir pesisir terancam longsor. Kemungkinan ini bisa saja terjadi sebab tidak ada wilayah yang aman dari bencana dan ruang gerak di pulau kecil sangat terbatas.
Kebijakan mitigasi bencana di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil secara hukum sudah diatur dalam Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 64 Tahun 2010 Tentang Mitigasi Bencana di Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil.
Peraturan ini dibentuk untuk melaksanakan ketentuan Pasal 59 ayat (4) Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil.
Kebijakan mitigasi bencana di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil baik di atas kertas, namun lemah dalam pelaksanaan oleh pemerintah daerah. Misalnya, mitigasi terhadap kegiatan yang berpotensi mengakibatkan kerusakan di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil.
Saat pariwisata menjadi prioritas pembangunan, pemerintah maupun swasta semakin doyan membabat kawasan penyangga di wilayah pesisir untuk kepentingan pembangunan destinasi wisata.
Pembangunan di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil kerap tidak didahului dengan izin lingkungan (red. Analisis Mengenai Dampak Lingkungan/AMDAL) yang secara teknis mencakup analisis resiko-resiko yang mendasari upaya mitigasi bencana. Begitupun untuk investasi di sektor lainnya yang merusak kawasan penyangga.
WALHI NTT menilai kebijakan mitigasi bencana di NTT, terutama di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil, sangat minim. Misalnya, kegiatan struktur/fisik untuk mitigasi terhadap jenis bencana banjir, banjir pesisir, gempa bumi, longsor dan tsunami.
Penyediaan sistem peringatan dini hanya ada pada gunung berapi dan gelombang ekstrim. Sedangkan jenis bencana lainnya tidak ada. Sistem peringatan dini bahkan kerap diabaikan jika bertabrakan dengan kepentingan iklim investasi skala besar.
Selain itu, kawasan penyangga sebagai kawasan yang melindungi manusia dari ancaman bencana juga turut dirusak untuk kepentingan ekonomi tanpa mengukur potensi dampak yang terjadi.
Mitigasi bencana penting dilakukan mengingat kemampuan daerah-daerah di NTT dalam proses tanggap darurat sangat buruk seperti yang digambarkan sebelumnya.
Rekomendasi
Atas dasar hal tersebut di atas, WALHI NTT merekomendasikan kepada pemerintah provinsi NTT maupun pemerintah kabupaten di NTT untuk ; Pertama, menghentikan pembangunan maupun investasi yang dilakukan oleh privat sektor di pulau-pulau kecil yang tidak ramah lingkungan, baik di sektor periwisata, pertambangan, perkebunan monokultur, dan lainnya.
Sebab pembangunan yang tidak memperhatikan daya dukung dan daya tampung lingkungan hanya akan bencana.
Kedua, investasi yang dilakukan di daerah-daerah di NTT harus mengedepankan keselamatan lingkungan, manusia dan ruang hidup masyarakat.
Ketiga, menghentikan aktivitas pertambangan galian C yang tidak memilki izin dan masuk dalam kawasan hutan lindung.
Keempat, memperbaiki kawasan penyangga yang telah rusak akibat faktor alam maupun non alam.
Kelima, merevisi Peraturan Daerah (Perda) Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) dan Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (RZWP3K) yang disesuaikan dengan peta rawan bencana.
Keenam, melaksanakan upaya-upaya mitigasi yang bersifat kultural yang partisipatif serta mitigasi struktural sesuai Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 64 Tahun 2010 Tentang Mitigasi Bencana di Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil. ***