LEWOLEBA – Korban penipuan dan penggelapan uang atas kasus jual beli mobil, Masrudin Usman, menyurati Kapolres Lembata, AKBP Josephien Vivick Tjangkung, untuk meminta audiensi terkait kejelasan kasus yang menimpanya ini.
Surat audiensi ini dilayangkan berkaitan dengan lambatnya penanganan kasus yang melibatkan oknum anggota Polres Lembata, UA sebagai perantara.
“Kami akan kirim suratnya besok ke Ibu Kapolres,” kata Yohanes Carolus Songgur kuasa hukum Masrudin Usman dari kantor Hukum Yohanes Carolus Songgur S.H.,M.H & Rekan kepada BentaraNet, Minggu, 11 Maret 2024.
Songgur mengatakan kasus yang menyebabkan kerugian Masrudin sebesar Rp 100 juta ini berjalan sangat lambat dalam proses penanganannya.
Ia menjelaskan terhitung sejak Surat Pemberitahuan Perkembangan Hasil Penyidikan (SP2HP) pertama yang diterbitkan pihak penyidik pada 09 Sebtember 2022 lalu, sampai saat ini kliennya tak kunjung menerima SP2HP kedua.
“Ini sudah terhitung dua tahun pak Masrudin belum pernah menerima SP2HP lanjutan terkait dugaan penipuan dan penggelapan yang ia laporkan,” kata pengacara berdarah Waienga ini.
Songgur kemudian mempertanyakan kinerja penyidik Polres Lembata dalam kasus dugaan penipuan yang dilakukan oleh oknum anggota Polres Lembata, UA, yang saat ini bertugas di Pospol Ile Ape ini.
Padahal menurut Songgur, SP2HP adalah hak korban, juga sebagai dokumen pendukung akuntabilitas dan transparansi penyidikan sesuai ketentuan Pasal 39 Ayat I Peraturan Kepala Kepolisian Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 2011 Tentang Kode Etik Profesi Kepolisian Negara Republik Indonesia.
“Sehingga ini tidak boleh diabaikan penyidik dalam melakukan penanganan suatu perkara pidana di tingkat penyidikan,” tandasnya.
Terkait perihal ini, pengacara muda jebolan Universitas Merdeka Malang ini menjelaskan pihaknya akan melayangkan surat permohonan audiensi kepada Kapolres Lembata, Josephien Vivick Tjangkung, untuk menanyakan sejauh mana penanganan perkara yang melibatkan salah satu oknum anggota Polres Lembata.
Songgur menegaskan bahwa hukum harus berdiri tegak kepada siapa saja, sekalipun dalam perkara yang melibatkan aparat penegak hukum. Sehingga prinsip Equlity before the law benar-benar hidup dalam penerapan proses hukum di Lembata.
“Tidak boleh tebang pilih! Kami sangat menyayangkan penangan perkara ini di tingkat penyidikan yang terkesan lambat dan bertele-tele,” ujarnya.
Padahal, jika ditelisik lebih jauh dan obyektif, laporan kasus ini telah diseretai dengan dua alat bukti permulaan yang cukup, yang seharusnya alat bukti ini bisa membantu penyidik untuk menetapkan tersangka.
Semua alat bukti ini sudah diserahkan ke penyidik, baik keterangan saksi korban maupun bukti surat lainnya. “Tapi kenapa belum juga ada tersangkanya? di mana slogan Polri Presisi yang katanya prediktif, responsibilitas dan transparansi berkeadilan?” kata Songgur.
Ia mengharapkan ketegasan Vivick Tjangkung untuk memberikan atensi lebih pada perkara yang melibatkan salah satu anak buahnya tersebut. Sebab jika tidak, kasus ini akan memberikan preseden buruk bagi citra institusi Polri di mata masyarakat Lembata.
Menurut Songgur perkara ini dapat menjadi indikator bagi masyarakat untuk mengukur sejauh mana profesionalitas Polri dalam menyelesaikan persoalan yang melibatkan anggotanya.
“Keseriusan Polres Lembata menangani perkara ini akan memberi pesan penting kepada masyarakat Lembata, bahwa masih ada sinar terang keadilan di bawah tongkat komando Ibu Vivik Tjangkung selaku pimpinan tertinggi Polres Lembata,” pungkasnya. (BEN/01)