Senin, 17 Mei 2021, ditemani kaka ipar dan anak bayinya, Maria Gunu menyambangi Taman Daun di kawasan Bluwa, Lewoleba Barat. Di hadapan Koordinator Relawan Taman Daun, John S J Batafor dan beberapa relawan, wanita paruh baya ini mengungkapkan keluh kesahnya.
Dia menangis, sambil menggendong anaknya. Di halaman depan Taman Daun, saat hari sudah mulai gelap, Maria mengisahkan bahwa dia tidak memiliki rumah sejak dipulangkan Pemerintah Kabupaten Lembata dari kantor Camat Nubatukan beberapa hari yang lalu.
Warga Amakaka, Kecamatan Ile Ape Timur ini merupakan penyintas banjir bandang dan longsor yang merenggut 68 korban jiwa dan menghancurkan ratusan rumah di Kabupaten Lembata awak april lalu. Suami dari ibu tiga orang anak ini masih berada di perantauan, tepatnya di Samarinda, Kalimantan Timur.
Pulang ke Desa Amakaka bukan pilihan tepat baginya, saat semua warga di desa ini memilih tinggal di kebun. Maria tidak punya gubuk di kebunnya.
Untuk sementara dia bersama ketiga orang anaknya tinggal di rumah kakak iparnya yang berada di Lamahora. Ukuran rumah ini tidak cukup untuk dia dan anak-anak. “Kalau di kebun saya bisa lebih nyaman urus anak-anak sambil kerja kebun,” ungkap Maria.
Maria memilih untuk meninggalkan pengungsian, saat diberikan dua pilihan oleh pemerintah yakni pulang ke rumah atau menetap di posko pengungsi kantor Camat Nubatukan yang berada di Lewoleba, Ibukota Kabupaten Lembata.
“Semua orang memilih pulang, tidak mungkin saya sendiri di pengungsian. Kalau dikasih pilihan begitu, saya pasti memilih untuk pulang meski susah,” ungkap Maria.
John Batafor malam itu juga berjanji akan membangun rumah hunian sementara bagi Maria di kebunnya. Hanya John memastikan, pilihan Maria menetap di kebun adalah keputusan yang tepat dan tidak berubah.
Kebetulan, saat itu Relawan Komunitas Taman Daun juga sedang membangun 41 unit rumah hunian sementara di Waisesa bagi para penyintas. Wilayah Waisesa juga jadi kawasan relokasi warga korban banjir bandang dan longsor dari beberapa desa.
John dan relawan komunitas Taman Daun lainnya selalu mengedepankan spirit gemohing untuk membantu para penyintas. “Kami siapkan material untuk bangunan seperti balok, usul, tripleks, seng dan lain-lain, nanti bapa, mama mereka ajak keluarga yang tukang untuk kita kerjakan sama-sama,” kata John disanggupi Maria dan kakak iparnya.
John menambahkan bahwa semua unit rumah yang dibangun, akan segera diisi dengan Solar Cell sebagai alat bantu penerangan, “dan kebutuhan lain yang membutuhkan tenaga listrik,” ungkapnya.
Rabu, 19 Mei 2021, secara gemohing, Komunitas Relawan Taman Daun bersama hampir rampung mengerjakan rumah hunian sementara bagi Maria dan tiga orang anaknya.
Apa yang dikhawatirkan John sebelumnya terbukti. Bisa jadi Maria bukan satu-satunya penyintas yang memiliki nasib yang sama setelah dipulangkan dari posko pengungsian. Menurut John, setiap penyintas punya beban yang berbeda saat meninggalkan pengungsian.
Tidak semua penyintas juga berani menceritakan keluh kesahnya seperti ibu Maria. “Lebih ekstrimnya lagi, tidak semua orang punya keluarga dan tidak bisa berkeluh kesah. Dan kita tidak tahu kondisi mereka,” ungkap John.
Pemerintah Kabupaten Lembata menurut John, harusnya memastikan penyintas tidak mengalami kesulitan saat mereka pulang ke rumah. John berharap agar hal yang terjadi pada Maria ini tidak terjadi lagi bagi para pengungsi lainnya.
“Mulai dari dimana mereka tinggal, dengan siapa, apa kebutuhan mereka untuk sementara waktu. Ini harus benar-benar dipastikan agar mereka tidak menghadapi persoalan baru saat keluar dari pengungsian,” imbuhnya.
Pemerintah Kabupaten Lembata dalam beberapa waktu belakangan telah memulangkan pengungsi dari desa Waimatan yang berada di posko SMP St Pius Lewoleba, dan pengungsi asal desa Lamagute dan Amakaka di posko Kantor Camat Nubatukan.
Sementara itu, para penyintas asal desa Lamawolo saat ini masih bertahan di posko SMP Negeri 1 Nubatukan. (Red)