Kupang – Deputi WALHI NTT, Yuvensius S Nonga menjelaskan bahwa Pemerintah Provinsi NTT gagal dalam mengelola sumber daya alam yang ada di NTT.
Hal ini disampaikan Yuvensius dalam sebuah rilis yang diterima oleh Bentara.net pada Selasa (10/01/2023).
Yuvensius menjelaskan bahwa Pemprov NTT di bawah kepemimpinan Viktor Bungtilu Laiskodat (VBL) dan Joseph Nae Soi (JNS) dalam pembangunannya pun tidak memberikan dampak positif terhadap pelestarian lingkungan.
Malah sebaliknya, pembangunan di masa VBL dan JNS mengarah pada rusaknya lingkungan hidup akibat investasi skala besar.
“Seperti meniru rezim sebelumnya, rezim ini hadir dengan pendekatan pembangunan yang juga berdampak buruk pada lingkungan,” tegas Yuven.
Lanjutnya, WALHI NTT merekam beberapa dampak buruk dari kebijakan pembangunan di masa VBL dan YNS dalam dalam empat tahun terakhir.
Mulai dari pengrusakan hutan, perampasan wilayah kelola rakyat (WKR) dan alih fungsi kawasan yang terjadi hampir di seluruh wilayah NTT.
“Pemerintah VBL-JNS berekspektasi ketinggian terkait peningkatan ekonomi tanpa memikirkan keberlanjutan lingkungan,” ungkap Yuvensius.
Yuven pun menjelaskan bahwa saat Pemprov mengeluarkan moratorium tambang, masyarakat di wilayah lingkar tambang sudah bisa bernafas dengan lega.
Sayangnya harapan ini hanya berlaku sementara. Sebab, moratorium tambang hanya mengecek syarat-syarat yang harus dipenuhi perusahaan tambang.
Moratorium ini tidak untuk menutup tambang yang sudah berdampak pada manusia dan lingkungan di sekitar tambang.
Tidak hanya itu, rezim VBL dan YNS juga melakukan pengrusakan hutan untuk kepentingan investasi dengan diiming-imingi kesejahteraan masyarakat.
Salah satunya adalah Hutan Pubabu. Untuk memuluskan kepentingan ini, Pemprov tega menggusur rumah warga yang menetap di dalam hutan ini.
Bahkan, masyarakatnya, termasuk perempuan dan anak mendapatkan kekerasan fisik dan verbal. Ada pula yang dikriminalisasi karena menolak perampasan hutan untuk kepentingan investasi.
Cerita lainnya adalah privatisasi pesisir dan pulau-pulau kecil. VBL dan JNS menjadikan sektor pariwisata sebagai sektor unggulan yang lagi-lagi katanya untuk peningkatan ekonomi rakyat.
“Yang terjadi adalah peningkatan konflik agraria, peningkatan kerusakan lingkungan, peningkatan privatisasi sumber daya alam,” terang Yuvensius.
Lanjutnya, sampai saat ini, ancaman pengrusakan lingkungan di NTT masih terus berlangsung. Narasi pelestarian dan perlindungan lingkungan tidak menjadi prioritas di setiap agenda pembangunan.
Pemerintah pusat maupun pemerintah daerah, masih memiliki karakteristik kebijakan yang seragam, yang mana menempatkan laju investasi dalam memerangi kemiskinan.
“Hal ini bertolak belakang dengan fakta di lapangan. Sektor sumber daya alam masih merupakan sektor yang diunggulkan dalam menopang ekonomi rakyat (bukan investasi-red)”, gugat Yuvensius.
Sebaliknya, pembangunan dengan pendekatan investasi skala besar sering diwarnai dengan pengrusakan lingkungan.
Pengarusutamaan investasi skala besar dalam setiap kebijakan merupakan satu pola bunuh yang dilakukan pemerintah. Sebab, investasi skala besar bertentangan dengan pelestarian lingkungan.
Fokus pemerintah ini pada investasi skala besar pun akan menambah kerentanan di tingkat masyarakat.
Tujuan peringatan Hari Lingkungan Hidup dan Gerakan Satu Juta Pohon Sedunia yang jatuh pada 10 Januari ini bertujuan untuk mewujudkan lingkungan yang sehat, sejuk dan juga asri.
Menurut Yuvensius, dua momen besar dalam waktu yang bersamaan ini tidak akan berdampak positif pada pemulihan lingkungan, sepanjang pemerintah masih menggunakan otoritasnya yang memudahkan korporasi merampas tanah rakyat, privatisasi pesisir, alih fungsi kawasan hutan, privatisasi air, dan memudahkan segala upaya kriminalisasi dan intimidasi pejuang lingkungan.