Wajah ceria Paulina Peni Hei (75) begitu nampak saat dia dituntun beberapa anggota relawan Komunitas Taman Daun dan beberapa warga dari rumah tetangga menuju rumah barunya. Meski wanita yang akrab disapa nenek Peni ini tidak bisa melihat, namun tidak sulit bagi beberapa relawan ini menuntunnya.
Wajahnya sumringah. Langkahnya sedikit lebih tegap dibanding hari-hari sebelumnya saat dia masih tinggal di gubuk reot. Dia tinggal sendirian. Rumah baru di tempat yang sama ini, menjadi catatan perjalanan hidup tersendiri bagi nenek Peni.
Bagaimana tidak, rumah ini dibangun oleh orang-orang yang baru dikenalnya, saat dia menerima bantuan sembako saban minggu. Mereka adalah relawan Komunitas Taman Daun. Sebuah komunitas yang giat melakukan kegiatan literasi, sosial dan pelestarian lingkungan hidup.
Sebelum diantar masuk ke rumahnya, nenek Peni sudah dimandikan oleh tetangga sebelah rumah. Wajahnya kini tampak jauh lebih segar. Senyum manis selalu merekah dibalik keriput wajah tuanya. “Sekarang baru kelihatan nenek peni lebih muda sepuluh tahun dari usianya,” ungkap salah seorang relawan Taman Daun.
Hari itu, Jumat, 03 Juli 2020, banyak orang sudah berkumpul di rumah baru yang berada di Desa Katakeja, Kecamatan Atadei ini. Saat memasuki halaman rumah, nenek Peni disambut isak tangis haru tetangga dan relawan Taman Daun yang hadir.
“Kami tidak pernah menyangka ama, di tengah kesendiriannya, di sisa hidupnya dia masih mendapat bantuan rumah baru dari Taman Daun,” kata Petrus Mora Namang, tetangga sebelah rumah nenek Peni. “Ini memberikan kebahagiaan tersendiri bagi nenek Peni.”
Petrus merupakan satu di antara sekian banyak warga yang turut menitikan air mata haru, melihat nenek Peni bisa tinggal di rumah yang lebih layak. Beberapa ibu-ibu yang turut hadir saat itu tak kuasa menahan tangis. Demikian halnya dengan anggota relawan Taman Daun yang turut hadir saat itu.
Sesaat sebelum ditempati nenek Peni, rumah ini diberkati dengan tradisi Gereja Katolik oleh Pastor Paroki Setempat. Rumah sederhana setengah tembok itu terdiri dari dua kamar tidur dan satu ruang tamu serta ruang makan. Denahnya tidak berbeda dengan rumah sebelumnya yang sudah reot dan tidak layak huni.
“Ini untuk memudahkan nenek Peni mengakses setiap ruangan, karena mata nenek Peni rabun. Hanya saja ada penambahan dapur, kamar mandi dan toilet jongkok,” kata John S J Batafor, koordinator Relawan Komunitas Taman Daun.
John mengatakan, inisiatif untuk membedah rumah nenek Peni muncul saat Komunitas yang bermarkas di Bluwa, Lewoleba Barat ini membagi-bagi sembako untuk warga terdampak pandemi Covid-19 pada Jumat, 12 Juni lalu. Saat itu tim relawan dikejutkan dengan penampakan rumah nenek Peni yang sudah tidak layak huni.
Kondisi ini diperparah lagi dengan rasa sakit pada badan bagi lansia kebanyakan, yang diderita nenek Peni. Ironinya, nenek Peni tinggal sendirian, tanpa keluarga. Untuk makan, dia berharap uluran tangan dari tetangga. Kadang nenek Peni harus masak sendiri, meski matanya rabun.
Rumah yang tidak layak huni ini menjadi saksi bisu penderitaan nenek Peni selama bertahun-tahun. Beberapa tim medis dari relawan Taman Daun sempat memeriksa kesehatannya. Beruntung kondisinya tidak separah yang dibayangkan relawan yang hadir saat itu.
Setelah menghimpun donasi dari para relawan dan beberapa orang baik lainnya di Kota Lewoleba, aksi bedah rumah pun dimulai pada Senin, 29 Juni 2020. Sumbangan dari relawan dan simpatisan ini beraneka ragam. “Ada yang sumbang balok, semen, batu bata, bahkan uang. Jadi patungan dengan segala keterbatasan ini menjadi kekutan utama teman-teman relawan,” kata John.
Embun yang Menyejukan
John mengatakan, walaupun sederhana, dengan rumah baru ini, relawan Komunitas Taman Daun dan semua pihak yang terlibat dalam bedah rumah ini sudah memuliakan nenek Peni sebagai manusia yang sesungguhnya. Nenek Peni yang sebelumnya tidak bisa melihat, kini samar-samar bisa melihat benda-benda yang ada di sekitarnya.
“Dan ternyata kebahagiaan ini membantu dirinya hidup lagi. Tanpa disangka dia mampu melihat kembali meski masih samar dan ketika dengar bahwa kita akan bangun rumah baru baginya, ia telihat bahagia sekali dan mulai jalan-jalan sendiri perlahan dan wajahnya sungguh berubah cerah,” ungkap John.
Bantuan yang semula hanya karena anak-anak Taman Daun tidak tega melihat rumah reyot seperti kandang yang hampir rubuh, ternyata malah memiliki makna mendalam. “Kita sudah membantu nenek yang buta karena tekanan psikologi dan tekanan penderitaan hidup untuk bisa melihat kembali. Ini sungguh suatu mujizat, terutama bagi saya,” ungkap Putra Lamalera ini.
Menurut John, rumah baru ini bagaikan setetes embun yang mampu menyejukan hati nenek Peni di usianya yang sudah senja. “Dia sudah tua, ini mungkin kebahagiaan terakhir yg akan dia bawa pada saat suatu saat jiwa lepas dari raganya. Yang utama buat saya adalah tentang harga diri nenek Peni sebagai manusia,” ungkapnya.
Hal ini dibenarkan Hepi Nuban, seorang warga yang turut membantu membangun rumah ini. Bagi Hepi, untuk bahagia, wanita lansia seperti nenek Peni hanya membutuhkan perhatian dengan cara sederhana dari orang-orang di sekitar.
“Dan ini adalah suatu bentuk perhatian yang sangat luar biasa dari Taman Daun, tidak hanya membangun rumah, tapi hari ini mereka datang dan merayakan kabahagiaan bersama nenek Peni,” kata Hepi.
Tidak Sakit Lagi
Rumah ini dibangun dalam waktu empat hari oleh empat orang tukang bangunan dari komunitas Taman Daun secara sukarela. Mereka adalah Emrin Manuk, Hanes Nara, Paulus Keraf, dan Yasin Hali. Mereka juga dibantu oleh pemuda pegiat literasi dari Taman Baca Kampung Kodok Kalikasa.
Gubuknya dibongkar total dan dalam waktu empat hari. Gubuk kumuh di tengah-tengah kampung Kalikasa itu berubah pesat jadi rumah yang layak huni. Di petak tanah yang sama, rumah Nenek Peni dengan dua kamar, satu ruang tamu, dapur dan toilet tuntas dibangun.
Secara bergantian, para relawan Taman Daun pun rutin bolak-balik Lewoleba-Katakeja untuk memastikan kelancaran pembangunan rumah untuk nenek Peni.
Selama rumahnya dibedah, nenek Peni tinggal di rumah tetangga. Satu hal yang sering diingat para relawan Taman Daun adalah nenek Peni selalu mengeluh sakit saat disapa. “Kalau kita sapa dia, selamat siang nene Peni, atau selamat pagi nene Peni, jawabnya selalu “Saya sakit ama,”” ungkap Ricko Wawo, Jurnalis Pos Kupang yang juga anggota relawan Taman Daun.
Namun sekarang, sakit itu sudah berkurang. Nenek Peni tidak mengeluh sakit seperti hari-hari sebelumnya.
Usai merayakan kebahagiaan bersama nenek Peni di rumah barunya, para relawan pun bergegas pulang ke Lewoleba. Senja telah tiba, malam itu nenek Peni bisa tidur lelap di atas springbed barunya. Angin malam tidak lagi menembus pori-pori lewat lubang dinding, seperti saat nenek Peni tinggal di gubuk reyot sebelumnya. (tld)