Lewoleba – Desa Lamagute, Kecamatan Ile Ape Timur, Kabupaten Lembata, Sabtu , 15 April 2021 masih tampak sepi. Sehari setelah dipulangkan dari posko pengungsi Kantor Camat Nubatukan, di desa ini hampir tidak ditemukan aktivitas warga.
Meski demikian, beberapa orang sesekali mondar-mandir di ruas jalan antara kantor desa Lamagute dan SDK Atawatung. Para pengiris tuak tidak tampak di desa yang terkenal dengan arak Atawatung ini.
Beberapa ibu-ibu membenahi halaman rumah, merawat bunga dan menimba air dari sumur tua yang berada di tengah desa. Anak-anak bersepeda di lorong sempit antara rumah-rumah yang letaknya persis di sebelah utara sumur.
Desa ini berada tepat di kaki Ile Lewotolok, gunung api yang pada Minggu, 29 November 2020 silam mengalami erupsi.
Puncak gunung api stratovolcano ini juga jadi sumber banjir bandang yang meluluhlantakkan empat desa di Kecamatan Ile Ape yakni, Waowala, Tanjung Batu, Amakaka, Lamawara dan dua desa di Kecamatan Ile Ape Timur, desa Waimatan dan Lamawolo.
Warga desa Lamagute boleh dibilang beruntung karena tidak mengalami langsung musibah banjir bandang yang menelan 68 korban jiwa, dan menghancurkan ratusan rumah. Sebanyak 22 korban jiwa di antaranya tidak ditemukan hingga kini.
Bahkan di Waimatan, 8 korban hingga kini tidak ditemukan dan belasan rumah tertimbun bebatuan besar yang longsor dari lereng gunung.
Meski demikian, Lamagute tidak bisa dibilang 100 persen aman. Deretan bebatuan besar tampak tergantung di antara gugusan bebukitan yang sedikit menghalangi pandangan ke puncak gunung.
Desa ini berada di antara dua lokasi bencana, yakni Desa Waimatan yang berada di sebelah barat, dan sebuah kali mati, jalur banjir bandang yang berada tidak jauh dari Desa Napasabok yang berada di sebelah timur.
“Kami juga khawatir saat malam itu (Minggu, 04 April 2021 subuh). Paginya kami dengar di Waimatan sudah ada korban meninggal dan rumah-rumah tertimbun batu,” kata Karel Witak, warga Desa Lamagute.
Tidak berbeda dengan desa lainnya di kaki gunung Ile Lewotolok, Lamagute juga memiliki beberapa potensi ancaman bencana mulai dari erupsi gunung api, gempa bumi, banjir bandang dan tzunami.
Tiga potensi ancaman bencana pertama bisa saja menyebabkan longsoran bebatuan besar yang begantungan di lereng bebukitan kecil dan gunung. Kapan pun desa ini terancam ditimbun bebatuan besar.
Tidak heran jika beberapa Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) di Kabupaten Lembata beberapa tahun terakhir juga berupaya mewujudkan Lamagute sebagai desa tangguh bencana. Beberapa pelatihan dan simulasi mitigasi bencana juga pernah dilakukan di sini.
Relokasi sepertinya belum jadi wacana yang seksi waktu itu.
Memilih untuk pulang ke kampung pasca bencana banjir bandang dan longsor, bukan pilihan yang mudah bagi Karel dan warga desa Lamagute lainnya. Tidak semua warga memilih ke desa saat dipulangkan Pemerintah Kabupaten Lembata.
“Sebagian memilih pulang ke sini tetapi sebagian lainnya masih di rumah keluarga di Lewoleba. Ada yang pergi ke kebun di Parek (Perkebunan warga yang berada di wilayah Tanjung, Kecamatan Ile Ape),” kata Karel.
Karel mengatakan, tidak ada pilihan bagi mereka saat diminta pemerintah untuk memilih bertahan di posko pengungsian atau pulang ke rumah masing-masing. Karel bersama sebagian warga Desa Lamagute akhirnya memilih untuk pulang ke kampung.
“Artinya secara pribadi kami memilih pulang ke rumah. Bukan juga meminta, tapi dari Pemda (yang memberi pilihan),” kata Karel. “Katakan saja di Lamagute masih aman, sehingga kami boleh pulang. Tetapi apabila ada dentuman (erupsi) dan rasa tidak aman bisa balik kembali ke Lewoleba lagi,” lanjutnya.
Karel mengungkapkan, kepulangan warga desa Lamagute dibayang-bayangi rasa trauma dan ketakutan, akumulasi dari bencana erupsi Ile Lewotolok, menyusul banjir bandang dan longsor. Menurutnya, hal yang paling ditakutkan saat ini adalah ancaman erupsi gunung api Ile Lewotolok, bukan banjir bandang.
“Kita ini masih bimbang juga karena di kiri kanan ini ada bencana juga. Yang ditakutkan itu erupsi, kalau banjir saya kira tidak terlalu lagi karena sekarang sudah musim kemarau,” ungkapnya.
Warga lainnya, Maria Sawu Betekeneng masih merasa tidak nyaman saat tinggal di kampung. Selain karena diberi pilihan untuk pulang kampung, rasa cintanya akan kampung halaman membuatnya bertahan di Lamagute meski harus selalu waspada.
“Ya rasanya tidak nyaman. Tapi tumpah darah kita di sini. Sedikitnya itu kita tidak lupa, mau betah di sini. Tapi karena keadaan alam begini,” ungkapnya.
D sisi lain, Maria mengaku akan selalu mengikuti arahan pemerintah jika itu baik untuk dirinya dan warga masyarakat desa Lamagute. Jangankan diminta untuk memilih pulang ke kampung atau bertahan di Lewoleba, direlokasi sekali pun dia akan turut.
“Kita dalam kebimbangan begini kalau pemerintah bilang yang lebih baik untuk masyarakat ya kita harus ikut,” ucap Maria. Maria mengatakan, aktivitas menenun ibu-ibu di desa Lamagute juga berjalan seperti biasa seperti hari-hari sebelumnya.
Satu hari setelah pulang ke Lamagute, Maria masih sempat mendengar letupan erupsi gunung api Ile Lewotolok.
Sementara itu, petugas di Pos Pemantau Gunung Api Ile Lewotolok, Stanislaus Arakian mengimbau masyarakat untuk tetap waspada meski melakukan aktivitas seperti biasa. Aktivitas vulkanik gunung api Ile Lewotolok hingga saat ini masih berada di level tiga atau siaga.
Grafik Pos Pemantau Gunung Api Ile Lewotolok, Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi (PVMBG) menunjukan, aktivitas kegempaan Ile Lewotolok mengalami penurunan sejak pertengahan April hingga 13 Mei 2020.
“Pada tanggal ini gunung api Ile Lewotolok mengalami erupsi yang cukup besar.”
Setelah tanggal 13 Mei 2021, aktivitas kegempaan Ile Lewotolok mulai meningkat lagi. Sebelumnya pada 21 April 2021 lalu, erupsi gunung Api Ile Lewotolok juga terjadi diikuti kolom abu setinggi 1.000 meter dari kawah puncak.
“Sepertinya energinya yang lama belum habis total. Apalagi kita lihat sekarang juga masih terbuka. Potensi erupsi masih ada cuma skala kecil, hanya letusan stromboli. Namanya terbuka relatif lebih aman,” kata Stanislaus.
Perihal kepulangan pengungsi, Camat Nubatukan, Fransiskus Dangku kepada BentaraNet mengatakan, para pengungsi sebanyak 20 Kepala Keluarga (KK) dari desa Lamagute dan 5 KK dari desa Amakaka dipulangkan pada Jumat lalu.
Frans mengatakan, seluruh pengungsi di Aula Kantor Camat Nubatukan ini memilih untuk pulang ke rumah mereka masing-masing.
“Keputusannya mereka sendiri yang berunding. Memang kita waktu itu karena Lamagute ini kan seluruh kondisinya baik. Jadi waktu itu kami bilang kalau bisa mau pulang juga silahkan. Mereka ada keresahan juga soal kebun di sana,” kata Fransiskus.
Frans juga mengaku kaget ketika 5 KK dari Desa Amakaka yang berada di posko pengungsi Aula Kantor Camat Nubatukan juga memilih untuk pulang. Dua KK menumpang di rumah keluarga di Lamahora, sedangkan 3 KK memilih untuk pulang ke rumah di desa Amakaka.
“Padahal konsep kami pertama itu hanya Lamagute yang bisa kita izinkan pulang karena mereka kan kondisi di sana masih bagus. Kita juga tidak bisa menahan mereka, karena itu kita atur untuk pulang. Kita siapkan dengan fasilitas kendaraan seluruhnya,” kata Fransiskus.
Aktivis kemanusiaan, Benediktus Bedil mengatakan, adanya potensi ancaman bencana yang cukup serius membuat masyarakat tetap dalam keadaan trauma saat pulang ke desa mereka masing-masing.
“Apalagi di Atawatung (Desa Lamagute) itu terancam bencana terjepit antara dua daerah yang terkena bencana juga. Dari segi keamanan untuk mereka di sana juga pasti terganggu karena kondisi itu,” kata Benediktus.
Kondisi trauma dan penuh ketakutan serta kebimbangan, lanjut Benediktus, tentu akan berpengaruh pada aktivitas ekonomi masyarakat. Jika aktivitas masyarakat tidak berjalan dengan baik tentu akan berpengaruh pada ketahanan pangan dan pendapatan mereka.
“Karena mereka akan sebentar-sebentar gemuruh gunung lalu batu-batu goyang atau longsor, maka ketakutan itu tetap terjadi di sana. Dan dalam kondisi demikian ketahanan pangan dan ketahanan pendapatan masyarakat pasti akan rapuh.”
Jika ketahanan pangan dan pendapatan rapuh, maka kata Direktur LSM Barakat ini, masyarakat akan membutuhkan bantuan. Yang paling pertama membantu adalah diri mereka sendiri, “Tetapi apakah dalam kondisi begini mereka bisa membantu diri mereka?”
Menurut Benediktus, pihak yang paling bertanggungjawab membantu masyarakat dalam kondisi demikian adalah pemerintah. “Kemudian baru pihak-pihak lain itu,” imbuhnya.
Tidak hanya itu, Benediktus menegaskan, agar bantuan dapat didistribusikan tepat sasaran, maka pemeritah mesti membuat assessment, pasca kepulangan para pengungsi.
Jika sebagian masyarakat memilih pulang ke desa, sebagian lainnya bertahan di rumah keluarga di Lewoleba dan ada yang pergi ke kebun-kebun, maka sebaran penyintas banjir bandang akan berubah.
“Kira-kira berapa orang yang membutuhkan bantuan, mereka ada di mana dan bentuk bantuan kita seperti apa itu kan harus diidentifikasi. Supaya bisa diketahui. Supaya bantuan yang kita turunkan juga bisa tepat sasaran dan tepat orang,” pungkasnya. (Red)
Sepakat apa yang di bicarakan barakat namun tangggal 17-21 april telah di lakukan JNA-JMA NTT, sehingga gunakan saja JNA itu menjadi acuan untuk Respon benjana seroja di NTT