Kupang – Aktivis Aliansi Mahasiswa Pemuda Peduli Rakyat Lembata (AMPPERA) Kupang, Soman Labaona mengapresiasi langkah Polda NTT mengumumkan penetapan tersangka kasus korupsi mega proyek Kolam dan Jeti Apung di Pulau Siput Awololong, Kabupaten Lembata.
“Kasus ini saya ikuti betul dan secara obyektif saya menilai Polda NTT sudah profesional. Karena langkah-langkah penyidikan itu sudah dilakukan dan membuat kasus tindak pidana korupsi secara terang benderang untuk menentukan siapa saja tersangkanya,” kata Soman kepada BentaraNet, Senin (21/12/2020).
Dia menjelaskan bahwa Direktorat Kriminal Khusus Polda NTT selama ini terus menunjukan perkembangan penyidikan kasus ini.
Meski demikian, Soman menegaskan AMPPERA terus mengawal kasus ini hingga Polda NTT melakukan pengembangan dan penetapan tersangka selanjutnya serta aktor intelektual dibalik kasus dugaan korupsi ini.
“Yang perlu kita kejar terus adalah siapa-siapa tersangka kali berikut dengan harus ungkap tuntas aktor intelektualnya,” kata Soman.
AMPPERA merupakan salah satu organisasi kepemudaan yang getol mengawal kasus dugaan korupsi mega proyek Kolam dan Jeti Apung di Pulau Siput Awololong ini.
Direktorat Kriminal Khusus Polda NTT, pada Senin (21/12/2020) mengumumkan penetapan dua tersangka dalam kasus dugaan korupsi proyek destinasi wisata di Pulau Siput Awololong, Kabupaten Lembata senilai Rp. 6.892.900.000.
Kanit II Subdit III Ditreskrimsus Polda NTT, AKP Budi Gunawan mengatakan, dua tersangka itu yakni, Silvester Samun selaku pejabat pembuat komitmen (PPK) dan Abraham Yehezkibel Tsazaro selaku kontraktor pelaksana.
“Statusnya sudah tersangka tapi belum ditahan, saat pemeriksaan baru akan ditahan,” ujarnya kepada wartawan, Senin (21/12/2020).
Ia mengatakan proyek tahun anggaran 2018-2019 ini menelan anggaran Rp. 6.892.900.000. Namun, dalam perjalanan, progres fisik pekerjaan proyek tersebut masih 0%, sementara realisasi anggaran sudah 85 % dari total anggaran Rp.6.892.900.000.
Akibat perbuatannya, negara mengalami kerugian sebesar Rp.1.446.891.718,27, berdasarkan laporan hasil audit perhitungan kerugian negara.
“Sejumlah dokumen kita sita dan 37 saksi kita periksa. Saat ini masih dua tersangka, tapi tidak menutup kemungkinan masih ada penambahan tersangka,” katanya.
Kedua tersangka dijerat pasal 2 ayat 1 subsider pasal 3 UU Nomor 20 tahun 2001 tentang perubahan UU Nomor 31 tahun 1999 tentang pemberantasan tindakan pidana korupsi Jo pasal 55 ayat 1 KUHPidana dengan ancaman empat tahun penjara.
Kedepankan Asas Praduga Tak Bersalah
Meski demikian, di sini lain, praktisi hukum di Kabupaten Lembata, Juprians Lamabelawa mengatakan, penegakan hukum atas setiap kasus termasuk kasus korupsi Proyek Kolam dan Jeti Apung Awololong, harus mengedepankan asas pra duga tak bersalah.
Menurutnya, setiap orang yang disangka dan atau yang didakwa bersalah, belum dapat dikatakan bersalah, sepanjang belum ada keputusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap.
Hal ini tertuang dalam penjelasan KUHAP butir ketiga huruf c yang berbunyi ; Setiap orang yang disangka, ditangkap, ditahan, dituntut dan atau dihadapkan di muka sidang pengadilan, wajib dianggap tidak bersalah sampai adanya putusan pengadilan yang menyatakan kesalahannya dan memperoleh kekuatan hukum tetap.
Asas praduga tak bersalah ini diatur juga dalam UU Kehakiman, Pasal 8 ayat (1) yang berbunyi ; Setiap orang yang disangka, ditangkap, ditahan, dituntut, atau dihadapkan dimuka pengadilan wajib dianggap tidak bersalah sebelum ada putusan pengadilan yang menyatakan kesalahannya & telah memperoleh kekuatan hukum tetap.
“Penetapan tersangka ini kan kewenangan penyidik. Penyidik merasa sudah cukup bukti sesuai dengan KUHAP. Nah, alat bukti yang dikantongi penyidik ini kan versi penyidik yang kemudian nanti dibawa ke jaksa untuk dipelajari.”
“Kalau jaksa merasa alat bukti yang diserahkan oleh penyidik ini cukup untuk dilakukan penuntutan di muka majelis hakim maka diujilah di pengadilan,” kata pengacara muda di Kabupaten Lembata ini.
Tahapan proses penegakan hukum yang dilakukan Penyidik Polda NTT menurutnya tidak bisa menargetkan orang menjadi tersangka. “Dia harus by proses. Jadi kalau proses itu sampai dimana kemudian tahapan proses itu ada yang kemudian harus menjadi tersangka ya itu menjadi bagian dari proses hukum,” kata Juprians.
“Tidak bisa kemudian targetnya siapa, targetnya siapa. Proses penegakan hukum tidak bisa begitu. Dia mengalir saja sesuai dengan fakta yang terungkap, kemudian kalau muncul ada tersangka baru, itu tentu harus didukung dengan alat bukti. Kalau ada target itu tidak benar,” kata Juprians.
Dia menjelaskan kemungkinan tersangka baru bisa ditetapkan jika ada perkembangan penyidikan dan ada alat bukti tambahan. “Itu baru proses pengembangan perkara,” pungkasnya. (Red)