Beutaran – Produksi sorgum di Kabupaten Lembata terus meningkat dari tahun ke tahun seiring meningkatnya minat petani beralih ke tanaman sorgum dari sebelumnya menanam jagung.
Pada tahun 2022, produksi sorgum kelompok tani Godi Jadi, Kelurahan Lewoleba Tengah, Kecamatan Nubatukan mencapai 6 ton jauh lebih banyak dari tahun sebelumnya.
Di samping itu meningkatnya lahan pertanian sorgum juga dapat ditemukan di Kecamatan Ile Ape dan Omesuri.
Namun sayang, meningkatnya produktivitas dan ekspansi lahan pertanian sorgum ini tidak diikuti dengan dukungan alsintan seperti mesin rontok dan sasak dari pemerintah.
Hal ini dikatakan Ketua Kelompok Tani Godi Jadi, Matheus Lili Uak saat panen sorgum di hamparan kebun Parek Walang, Kecamatan Ile Ape pada Kamis (7/4/2022).
Matheus mengatakan, selama ini mereka masih menggunakan tangan untuk memisahkan bulir sorgum dari tangkai. “Jadi kami masih kekurangan alat rontok. Tahun kemarin itu kami secara manual pakai pukul,” ucapnya.
Selain itu, kelompok tani yang tersebar di Lembata pun tidak memiliki mesin sosok untuk mengupas kulit biji sorgum.
Padahal jika dibandingkan, harga jual beras sorgum mencapai Rp 8.500 hingga Rp 10 ribu per kilogram, jauh lebih tinggi dibandingkan dengan biji sorgum seharga Rp 6.500 per kilogram.
Matheus berharap bantuan dari pemerintah berupa mesin rontok dan sasak untuk mendukung peningkatan produktivitas sorgum di Lembata.
Sementara itu Kepala Bidang Sarana Pra Sarana dan Penyuluh Pertanian pada Dinas Pertanian dan Ketahanan Pangan Kabupaten Lembat, Jack Sumarjo, mengatakan, produktivitas sorgum di Lembata terus meningkat dari tahun ke tahun.
Saat ini kurang lebih 30 hektar lahan pertanian sorgum yang tersebar di Kecamatan Nubatukan, Ile Ape dan Omesuri. Namun seiring berjalannya waktu, semangat petani ini tampak menurun karena ketiadaan mesin perontok dan sasak.
“Saya lihat semangat mereka menurun karena tidak ada mesin ini,” kata Jack.
Padahal menurut Jack, selain pangsa pasar luar wilayah, di Lembata pun kebutuhan sorgum sangat tinggi di tengah upaya pemerintah memerangi stunting.
Saat ini masyarakat menurutnya sulit beralih untuk mengkonsumsi sorgum sehari-hari karena mereka tidak bisa memeroleh beras sorgum.
“Karena kita butuhkan mesin sosok untuk jadi beras sorgum. Jadi selama ini kita tidak bisa konsumsi sorgum karena tidak bisa kita ubah jadi beras. Kalau demikian mereka (masyarakat) lebih memilih sorgum jadi makanan ternak unggas,” kata Jack.
Selama ini para petani hanya bisa menjual biji sorgum yang belum disosok ke pengusaha di Jakarta dengan harga Rp 6.500 per kilogram.
“Padahal kita punya potensi untuk menjual beras sorgum, tepung sorgum bahkan industri kue dengan bahan dasar tepung sorgum akan hidup jika kita punya mesin ini,” imbuh Jack.
Untuk diketahui, harga biji sorgum saat ini Rp 6.500 per kilogram, untuk beras sorgum atau sudah melalui proses sasak mencapai Rp 8.500 – 10 ribu per kilogram, tepung sorgum mencapai Rp 20 ribu – 30 ribu per kilogram, dan sereal sorgum mencapai Rp 45 ribu – Rp 60 ribu per kilogram. (Red)