Lewoleba – Eksistensi budaya dan bahasa lokal (daerah) kian terancam di tengah gerusan zaman yang serba teknologi canggih. Hal ini terungkap dalam Seminar Nasional Bulan Bahasa 2020 yang diselenggarakan secara virtual oleh SMP Negeri 1 Nubatukan bekerjasama dengan Komunitas Perempuan Biasa.
Kegiatan selama dua hari yakni Jumat-Sabtu (23-24/10/2020) yang menghadirkan 5 panelis ini, diisi dengan presentasi hasil Penelitian Bahasa dan Budaya Lembata oleh 8 guru SD & SMP yang tersebar di Kabupaten Lembata.
Nawangwulan Cahyaristi, peneliti dari SMP Negeri 1 Nubatukan mengungkapkan kekhawatirannya terhadap generasi milenial yang perlahan sudah mulai melupakan budaya dan bahasa daerah tempat dimana dia berasal.
Selain peran teknologi dan informasi yang membuai generasi muda dengan berbagai kesenangan di dunia maya seperti media sosial dan game online, perpindahan penduduk dari desa ke kota pun turut memengaruhi budaya lokal yang justru hidup dan berkembang di desa.
“Banyak anak-anak dari desa yang sudah pindah ke kota khususnya Lewoleba dan terpengaruh dengan budaya-budaya dari luar. Banyak yang berlomba-lomba belajar bahasa asing ketimbang budaya sendiri,” kata Wulan.
Menurut Wulan kegiatan seminar ini sangat bagus untuk mencari solusi yang baik untuk mengembalikan minat generasi muda terhadap budaya lokal dan bahasa daerah.
“Generasi muda harus melihat kembali budaya di Kabupaten Lembata, jangan dilupakan. Dan kita harus cari solusi sebagai jalan keluar untuk mengajak anak muda kembali melihat budaya sebagai sebuah kekayaaan,” imbuh Wulan yang melakukan penelitian tentang Seremoni Lango Wulo Rumah Adat Suku Balawala di Ile Ape.
Kepala Sekolah SMP Negeri 4 Nubatukan, Antonius da Silva melakukan penelitian tentang Analisis Pemaknaan Bahasa Mantra Dalam Ritus Lete Ahi di Desa Lamalela, Kecamatan Lebatukan. Adi menjelaskan, ada sebuah fenomena dimana makna budaya lokal setempat yakni penuturan mantra dalam ritus Lete Ahi tidak diwariskan dengan baik ke generasi muda.
Bahkan, Adi menuturkan ada kekhawatiran tersendiri dari para orangtua dan tokoh masyarakat setempat akan tergerusnya budaya lokal seperti ini dari generasi muda.
“Saya menemukan bahwa tradisi budaya di sana itu lebih umum dan lebih sering diikuti oleh para orangtua. Bahkan para pemangku adat juga kesulitan. Mereka punya kekhawatiran. Saat diskusi mereka juga sempat menyampaikan kesulitan mendokumentasikan setiap ritual dalam bentuk tulisan agar bisa dibaca oleh generasi muda,” ungkapnya.
Menurut Adi, upaya untuk melestarikan warisan budaya di Lembata bisa dimulai dari sekolah. Selain peran lembaga dan masyarakat adat, muatan lokal juga bisa menjadi mata pelajaran yang perlu diperhatikan secara khusus.
“Peran lembaga ada juga masih pada sebatas menyelesaikan persoalan-persoalan. Peran lembaga adat itu harus di-Perdeskan dan difungsikan dengan baik. Dalam konteks pendidikan maka jawabannya adalah muatan lokal,” kata Adi.
Kegiatan yang mengusung tema Peluang dan Tantangan Bahasa Lokal dalam Perspektif Budaya ini diisi oleh 5 panelis di antaranya Dosen Universitas Halu Oleo, Prof. Dr. La Ode Sidu Marafad, MS, Penasehat Asosiasi Peneliti Bahasa Lokal (APBL) Pusat, Prof. Dr. Aron Meko Mbete, Dosen Universitas Cendrawasih Jayapura Papua, Dr. Robert Masreng, M.Hum, Dosen STAKN Kupang, Dr. Lanny Koroh, dan Staf Teknis Penyuluh Bahasa Kantor Bahasa NTT, Christina T Weking, S.S.
Selain memberikan beberapa catatan kritis terhadap hasil penelitian para guru, para panelis juga mengapresiasi hasil penelitian dan kegiatan seminar ini. Dosen Universitas Halu Oleo, Prof. Dr. La Ode Sidu Marafad, MS, mengatakan, kegiatan seminar ini dapat menumbuhkan semangat menulis bagi guru sebagai bagian dari upaya untuk melestarikan budaya lokal.
“Penelitian ini bisa menjadi materi kurikukum muatan lokal yang dapat diberikan kepada anak-anak sekolah untuk meningkatkan pemahaman dan pengamalan mereka terhadap budaya-budaya,” kata La Ode.
Dorong Terciptanya Kurikulum Muatan Lokal
Kepala Sekolah SMP Negeri 1 Nubatukan, Melkior Muda Makin, mengatakan, seminar ini bisa menjadi jembatan atau pintu masuk menuju terciptanya sebuah desain kurikulum muatan lokal yang baik di Kabupaten Lembata. Sejauh ini baru ada satu kabupaten di NTT yang telah memiliki kurikulum Muatan Lokal yakni Kabupaten Rote Ndao.
Padahal, dalam Peraturan Daerah (Perda) Kabupaten Lembata Nomor 12 Tahun 2013 tentang Penyelenggaran Pembelajaran tertuang dengan jelas bahwa kurikulum yang harus didesain adalah kurikulum yang mengikuti tuntutan nasional namun juga harus memerhatikan kebutuhan daerah.
“Saya kira sumbangsihnya akan sangat besar. Kalau kita semua bicara tergerusnya budaya. Pengaruh modernisasi, globaliasi, digitalisasi sangat menentukan tergerusnya budaya.”
“Ketika kurikulum kita diletakan pada dasar yang kuat terlebih muatan lokal yang menekankan pada nilai-nilai budaya setempat, Kabupaten Lembata pada khususnya, saya kira dia akan mengembalikan secara perlahan-lahan. Sehingga generasi yang ada tidak hanya otaknya yang cerdas tapi betul-betul dia berdiri di atas tumpuan yang kuat yaitu akar-akar budaya,” pungkasnya. (red)