SoE – Penerimaan Program Indonesia Pintar (PIP) di SMA Negeri 1 Mollo Selatan, Kabupaten Timor Tengah Selatan (TTS) diduga diwarnai aksi pungutan liar (pungli) sebesar Rp 50 ribu per siswa setiap tahap.
Dugaan pungli tersebut disampaikan salah satu wali siswa yang merasa anak walinya dirugikan sebab harus menyerahkan uang sebanyak itu.
Adrianus Amsikan, wali siswa yang mengadu ke media ini, Jumat (3/7/2020), mengatakan, anaknya diharuskan mengumpulkan uang Rp 50 ribu untuk mendapatkan rekomendasi dari Kepala Sekolah untuk pencairan beasiswa di BNI.
Adrianus sebagai wali, merasa perlu untuk mengontrol anak walinya agar bisa menggunakan uang tersebut dengan baik untuk memenuhi kebutuhannya. Ia lalu menyuruh anak walinya untuk meminta kwitansi penggunaan uang tersebut.
“Saya suruh anak saya minta kwitansi, tapi guru yang urus rekomendasi bilang ke anak saya, itu bukan uang sekolah jadi tidak perlu kwitansi,” jelas Adrianus.
Saat mendengar jawaban para guru yang disampaikan oleh anak walinya, Adrianus berinisiatif menghubungi Kepala Sekolah SMA Negeri 1 Mollo Selatan via WhatsApp. Ia juga menghubungi guru yang mengurus rekomendasi untuk memastikan penggunaan uang tersebut.
Kepala Sekolah serta guru yang dihubungi, lanjut Adrianus, sama sekali tidak menghiraukan pertanyaannya sebagai wali siswa. Karena tanpa kwitansi, Adrianus pun menganggap itu sebagai pungli.
“Karena anak saya terima dua tahap maka dia kasi uang Rp 100 ribu,” kata Adrianus.
Ia menilai, pihak sekolah tidak mendukung program pemerintah untuk menekan angka putus sekolah dengan memberikan beasiswa bagi siswa dari keluarga yang kurang mampu.
Adrianus sangat tidak setuju dengan kebijakan yang ditempuh pihak sekolah. Menurutnya, sekolah seharusnya punya tujuan yang sama dengan pemerintah yakni memberikan kesempatan bagi anak-anak yang kurang mampu untuk mendapatkan pendidikan yang layak.
“Yang saya sesalkan itu, mereka ini dari keluarga kurang mampu yang dibantu pemerintah untuk bisa lanjut studi, tapi sekolah malah memungut lagi dengan jumlah yang sangat besar,” kata Adrianus.
Lanjutnya, jumlah uang yang dipungut itu, bernilai kecil bagi orang-orang yang tergolong mampu. Namun uang tersebut bagi keluarga yang kekurangan bisa sangat bermanfaat.
“Kalau hanya minta Rp10 ribu per tahap itu saya mengerti. Tapi kalau sampai Rp 50 ribu itu sudah terlalu besar dan itu masih bisa dipakai untuk beli buku atau baju seragam satu potong,” ujarnya.
Kepala SMA Negeri 1 Mollo Selatan, Jesaya Banoet yang dikonfirmasi di ruang kerjanya membenarkan siswa penerima PIP diminta menyerahkan uang perorang Rp 50 ribu per tahap.
Uang tersebut, kata Bonoet, dikumpulkan dari jumlah penerima PIP di sekolahnya yang berjumlah 171 orang, kemudian digunakan untuk membeli materai dan kertas.
Ia mengaku, untuk proses pencairan membutuhkan beberapa dokumen seperti surat pernyataan dan juga rekomendasi yang disahkan dengan materai. “Kan dia beli materai sekian lembar itu butuh uang. Itu yang pake untuk dia punya kepentingan,” kata Banoet.
Meski sebagai Kepala Sekolah, Banoet mengaku tidak mengetahui dengan pasti jumlah materai dan surat pernyataan yang dibutuhkan untuk proses pencairan satu tahap beasiswa PIP.
Ia juga mengatakan materai tersebut tidak bisa disediakan oleh sekolah. Setiap siswsa harusnya menyediakan sendiri. Untuk lebih memudahkan, sekolah menyediakan materai lalu siswa hanya membeli di sekolah.
“Sekitar empat ko. Nah itu kan butuh uang. Kalau tidak beli materai uang tidak keluar. Kalau buru mau stempel, terpaksa beli materai dan itu sekolah yang siapkan,” ujar Banoet.
Ia mengatakan, tidak ada pemotongan untuk beasiswa PIP, namun uang tersebut digunakan untuk kelancaran proses pencairan, yaitu untuk membeli materai dan juga kertas.
“Itu tidak dipotong, tapi demi untuk kasi keluar itu uang butuh sekian materai. Makanya setiap tahap harus, karena uang tidak bisa keluar begitu saja. Dia tidak potong, dia tidak ambil juga,” ungkap Banoet.
Banoet mengancam tidak akan menandatangani surat rekomendasi siswa yang mengadu ke orang tuanya atas potongan tersebut. Ia berjanji akan memanggil orang tua atau wali dari siswa bersangkutan.
“Kalau saya tidak mau tanda tangan dia bisa susah. Dia mau kasi keluar uang. Anak itu akan saya panggil orang tuanya. Maunya apa? Lu (kamu) mau kasi keluar uang di sana lalu lu (kamu) tidak mau kasi keluar uang?” tandasnya.
“Tolong itu jangan diekspose, berbahaya sekali untuk anak itu. Saya tidak akan tanda tangan karena persoalaan butuh materai sekian. Saya yang kasih?” tambahnya dengan nada sedikit tinggi.
Adrianus yang dikonfirmasi kembali mengatakan, seharusnya sekolah bisa menyiapkan materai dan kertas melalui dana BOS. Sehingga anak-anak dari keluarga miskin itu, tidak diberatkan lagi dengan pungutan yang nilainya cukup besar.
“Dana BOS itu per siswa per tahun itu Rp 1.500.000, kemudian setiap bulan kita bayar uang Komite Rp 75 ribu. Kenapa harus ambil lagi dari uang yang harusnya digunakan untuk memenuhi kebutuhan mereka yang membutuhkan,” ujarnya.
Ia mengatakan, yang disuarakan bukan hanya nasib anak walinya, namun juga memperjuangkan nasib mereka yang disunat haknya oleh pihak sekolah yang sudah disiapkan dana BOS oleh pemerintah.
“Saya menyuarakan nasib anak-anak yang juga mendapatkan perlakuan yang sama. Rp 50 ribu itu sangat berarti bagi mereka. Sementara sekolah sudah berikan dana BOS dan anggaran untuk ATK sekolah itu setiap tahun ada,” jelas Adrianus.