Larantuka – Pasca Panitera Pengadilan Negeri (PN) Larantuka tidak memenuhi undangan klarifikasi dari Polres Flores Timur, hingga adanya Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 2 Tahun 2002 yang menjadi patokan mendapat tanggapan keras dari Ketua Dewan Pembina Padma Indonesia.
Ketua Dewan Pembina Padma Indonesia, Gabriel Goa, mempertanyakan keputusan Ketua Pengadilan Negeri Larantuka yang tidak mengijinkan Panitera, Lahibu Weni, untuk memenuhi undangan klarifikasi, sebab semua sama di mata hukum
“Apakah surat edaran itu lebih tinggi dari KUHP dan KUHAP sama undang-undang Ombudsman juga undang-undang Komnas HAM, itu harus digarisbawahi. Karena Negara Indonesia adalah negara hukum, maka semua sama di mata hukum,” tegasnya.
“Hukum tidak mengenal apa itu pejabat. Kecuali diskresi, misalnya ada kerjasama antara Polri dan Pers menyangkut pemberitaan karya jurnalistik, maka ada undang-undang yang mengaturnya, sebab rujukan hukumnya jelas,” jelasnya lebih lanjut.
Lebih jauh dikatakan Ketua Dewan Pembina Padma Indonesia bahwa seorang aparat penegak hukum harus bisa menjunjung tinggi proses penegakan hukum.
“Mereka ini aparat penegak hukum dan panggilan polisi dari Polres itu baru meminta klarifikasi apakah benar. Kalau dia pakai dasar ini, ada tanda tanya besar, ada apa dibalik ini? Karena seorang aparat penegak hukum harus menjunjung tinggi proses penegakan hukum di Negara Kesatuan Republik Indonesia,” ucapnya.
Selain itu, Gabriel juga mempertanyakan alasan PN Flores Timur masih menggunakan edaran yang sudah 20 tahun lalu dan sekarang sudah era reformasi. Bahkan saat ini sudah ada penegasan terbaru dari Ketua Mahkamah Agung yang baru.
“Mengapa dari Pengadilan Negeri Flores Timur ini masih menggunakan edaran yang sudah 20 tahun lalu. Mengapa mereka takut untuk datang, bersembunyi dibalik edaran yang sudah 20 tahun lalu. Edaran ini sudah kadaluarsa sudah 20 tahun lalu, era ini sudah era reformasi,” ujarnya.
“Saat ini Ketua Mahkamah Agung yang baru, pada saat dilantik dia dengan tegas mengatakan bahwa kalau aparatur dibawah Mahkamah Agung dari pusat sampai di daerah, kalau terbukti melakukan tindak pidana maka perlu dibina, kalau tidak bisa dibina dibinasakan,” ujarnya lebih lanjut.
Gabriel juga mengambil contoh, seorang Wakil Ketua Komisi III DPR RI, Dr. Beny K. Harman sendiri patuh pada hukum dan memenuhi panggilan setingkat Polres di Manggarai Barat.
“Apalagi yang seorang namanya Panitera, Lahibu, pasti yang diawasi dari Komisi III DPR RI, wakil ketua saja taat pada hukum, harusnya dia kan ada ijin dulu dari Presiden, tapi karena proses bersamaan di mata hukum maka dia turut supaya tidak ada kritikan dari publik bahwa hukum ini hanya tajam ke bawah dan menumpul ke atas,” ucapnya.
Dikatakan pula bahwa fakta atas kejadian ini terjadi di Larantuka, jangan sampai masyarakat tidak lagi percaya terhadap Pengadilan Negeri
“Dan ini fakta terjadi di larantuka. Dan orang akan tidak percaya terhadap Pengadilan Negeri Flores Timur, karena dia tidak memenuhi padahal ini baru panggilan klarifikasi. Kalau tidak benar, ya siapa yang memanipulasi surat palsu dari PN setempat,” tegasnya.
“Kalau dia tidak melakukan, dia harus memberikan klarifikasi bahwa ini ada yang tidak benar. Ini kan baru penyelidikan, dia harus kooperatif untuk mendukung proses penegakan hukum yang transparan, kredibel juga akuntabel. Itu harus dijunjung tinggi oleh aparat penegak hukum, mulai dari polisi, jaksa, sampai di pengadilan,” tutup Gabriel. ***